Friday, February 22, 2008

jagir

KEKHAWATIRAN para keluarga korban gusuran bantaran kali di Surabaya untuk sementara sirna. Mereka sebelumnya sempat merasa tidak menentu nasibnya, karena "dijemput" dan dipindahkan ke tempat yang tidak dikenalnya. Mereka merasa kembali menemukan tempat yang lebih "beradab" setelah berminggu-minggu tinggal di tenda-tenda darurat, paling tidak untuk tiga bulan mendatang.

Setelah pemindahan hari Senin lalu, saat ini tenda-tenda darurat sebagai tempat tinggal ratusan warga yang sebelumnya memenuhi sepanjang Jalan Nginden Intan Selatan hingga Jalan Medokan Semampir, tidak terlihat lagi. Yang masih terlihat di sepanjang jalan itu adalah batu bata, genteng, kayu-kayu, dan pintu-pintu bekas bangunan yang tidak bisa dibawa ke penampungan.

Sebanyak 437 warga dari 124 keluarga korban gusuran bantaran (stren) Kali Jagir, Surabaya, yang berasal dari empat wilayah-Semampir, Wonorejo, Panjangjiwo, dan Nginden Jangkungan-memenuhi Asrama Transito milik Dinas Kependudukan Provinsi Jawa Timur (Jatim) yang digunakan untuk menampung mereka selama tiga bulan, Selasa (23/4/2002).

Warga empat wilayah itu berangsur-angsur memenuhi asrama yang biasa dipakai untuk menampung para calon transmigran yang akan diberangkatkan ke Indonesia bagian timur ini sejak pukul 09.00. Berbeda dengan proses "penjemputan" sehari sebelumnya yang diwarnai unjuk rasa penolakan oleh puluhan warga wilayah Nginden Jangkungan, proses kali ini berjalan lancar tanpa perlawanan.

"Sebelum petugas yang akan menjemput datang, saya dan suami sudah menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke penampungan," ujar Ririn (30) yang sehari sebelumnya turut dalam unjuk rasa menolak penampungan itu. Ia, mertua, dan keempat anaknya, akhirnya mau pindah ke penampungan setelah suaminya mengecek lokasi penampungan yang terletak di Jalan Margorejo 74 itu.

"Pulang dari mengecek penampungan, suami saya bilang kalau tempatnya lebih baik dan layak jika dibanding tinggal di tenda-tenda bekas gusuran. Selain itu, ada jaminan pendidikan, kesehatan, dan makanan," tuturnya girang. Keputusannya untuk bersedia ditampung ini diikuti juga oleh puluhan warga lain yang sebelumnya menolak.

Karena jumlah warga korban gusuran diperkirakan akan terus bertambah, Dinas Kependudukan akan menambah barak agar bisa menampung semua warga. "Jika warga stren terus berdatangan dan enam barak yang disiapkan tidak mampu menampung, kami akan memakai barak yang semula disiapkan untuk mengantisipasi kepulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia," ujar staf Dinas Kependudukan Kota Surabaya Zaifoer.

Jika penambahan barak ini tidak mampu menampung juga, dinas akan memakai aula dan Balai Latihan Transmigrasi di Krian, Sidoarjo, dengan kapasitas 60 keluarga sebagai tambahan. "Prinsipnya kami tidak mau menampung warga melebihi kapasitas barak yang ada. Kasihan mereka kalau itu terjadi," tambah Zaifoer.

Secara ideal, satu barak yang luasnya sekitar 180 meter persegi itu dihuni oleh 20 keluarga dengan jumlah anggota tiga atau empat jiwa setiap keluarga. Sambil berjalan, dinas akan menyiapkan sekat-sekat sebagai pembatas antarkeluarga. Warga tidak perlu memasak makanan sendiri, karena dinas telah menyiapkan dapur umum yang ditangani 15 juru masak.

Asrama Transito yang terdiri dari sembilan barak ini tampak makin penuh karena banyaknya barang yang dibawa para korban gusuran. Mereka juga membawa barang seperti kasur, kompor, almari, alat usaha mereka (becak, gerobak), sampai binatang peliharaan, seperti sapi dan kambing. Izin sekolah

Berkaitan dengan kelanjutan pendidikan anak-anak yang jaraknya jauh dari asrama, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim sudah mulai melakukan pendataan. "Tadi setelah saya datang, babak-bapak dari dinas mendata anak saya. Kata mereka, jauhnya jarak sekolah dengan penampungan akan dipikirkan pemecahannya," ujar Ririn.

Sambil menunggu proses pemecahan masalah tersebut, Ririn yang anaknya paling besar kini duduk di kelas satu SD, juga warga lain yang memiliki anak usia sekolah, diharapkan lebih dulu minta izin ke kepala sekolah masing-masing.

"Saya disuruh memintakan izin selama seminggu untuk anak saya ke kepala sekolah," tuturnya.

Meskipun terlihat senang, wanita asal Nganjuk ini masih tetap khawatir mengenai kelangsungan jaminan pendidikan, kesehatan, dan makanan yang dijanjikan pemerintah selama tiga bulan. "Sekarang masih terlihat enak, enggak tahu nanti. Kalau satu bulan kerasan, saya akan lanjut. Kita ke sini untuk membuktikan jaminan pemerintah tersebut," paparnya sambil menidurkan bayinya yang berusia tiga bulan.

inu

No comments: