Friday, February 22, 2008

mislachun

NELAYAN tidak bisa dipisahkan dari perahu. Dan perahu nelayantradisional Kelurahan Lumpur, Kecamatan Gresik, Gresik, Jawa Timur (Jatim), tidak bisa dipisahkan dari Mislachun (63) dan keluarganya.

Kenapa? Mislachun dan keluarganyalah yang secara turun-temurun mewarisi keahlian membuat hampir semua perahu nelayan tradisional di kelurahan yang terletak di Selat Madura ini.

"Saya enggak tahu kapan persis mulainya. Menurut ayah saya, sejak zaman kakek saya dulu, galangan perahu ini sudah dipakai untuk membuat dan memperbaiki perahu-perahu nelayan yang ada di sini," ujar Mislachun sambil berusaha mengingat.

Galangan perahu yang dimaksud pria asli Gresik ini adalah ruang berukuran 6x12 meter yang dipenuhi papan kayu beragam jenis dan ukuran. Di tempat itulah, selama puluhan tahun, ratusan perahu tradisional khas Lumpur dibuat dan diperbaiki oleh anak-anaknya dan dirinya sendiri, ayahnya, dan juga kakeknya.

SEPERTI umumnya warga Lumpur, Mislachun pun semula adalah nelayan yang setiap hari pergi ke laut mengadu nasib. Dikatakan mengadu nasib, karena meskipun sudah bertahun-tahun melaut, hasil tangkapan tidak pernah bisa diprediksi. Bisa jadi, hari ini mendapat banyak ikan atau udang, hari berikutnya mendapat sedikit, dan hari berikutnya lagi tidak mendapat apa-apa selain penat.

Lantaran sulit diprediksinya hasil tangkapan itulah, ayah delapan anak ini memilih tidak lagi melaut pada tahun 1970. "Waktu itu hasil tangkapan saya terus berkurang. Karena mau lebih fokus membuat perahu, saya memutuskan tidak melaut," ujarnya sambil sesekali memberi arahan kepada tiga anaknya yang sedang menghaluskan lambung perahu pesanan seorang nelayan.

Sebagai modal usaha membuat perahu, pria yang sejak remaja sudah melaut ini menjual semua peralatannya menangkap ikan, terutama perahu buatan ayahnya sebagai modal usaha. Uang hasil penjualan itu kemudian dibelikannya kayu untuk membuat perahu. Setelah perahu jadi, ternyata ada yang meminatinya. Hasil penjualan itu dibelikan kayu lagi. Kala itu, jumlah kayu yang dibeli lebih banyak sehingga dua perahu bisa dibuatnya dan segera laku terjual.

Setelah cukup dikenal lewat perahu buatannya, Mislachun tidak perlu lagi mengeluarkan modal untuk membuat perahu, karena para pemesanlah yang memberi modal. Saat ini, untuk membuat sebuah perahu ukuran 9,5 meter diperlukan modal Rp 20 juta, dan untuk perahu 7,5 meter diperlukan modal Rp 15 juta.

Keuntungan dari membuat perahu ini, menurut Mislachun, "lumayan", tidak kalah jika dibandingkan dengan hasil menjadi nelayan. Ketika ditanya seberapa lumayan keuntungan itu, ia tersenyum sebentar dan kemudian menjawab. "Yah, minimal saya bisa menyekolahkan delapan anak saya sampai tingkat SMA (sekolah menengah atas-Red). Bahkan, ada beberapa yang melanjutkan ke perguruan tinggi, meskipun akhirnya enggak selesai," ujarnya sambil menunjuk anak-anaknya yang berada di galangan. Sebagai gambaran mengenai penghasilan yang "lumayan" tersebut, Mislachun baru saja menunaikan ibadah haji.

Kedelapan anaknya, enam laki-laki dan dua perempuan. Keenam anaknya yang laki-laki, sejak dia menginjak dewasa, bekerja membantu membuat perahu yang tidak pernah sepi dari pemesan. Sementara dari dua anak perempuannya, satu meninggal dan satu tinggal di rumah menggantikan peran istri Mislachun yang sudah meninggal tahun 1996.

Dalam membuat perahu, hampir tidak pernah ada istirahat. Rata-rata ada tiga pesanan yang mengantre. Namun, antrean ini masih normal. Antrean pesanan perahu pernah memuncak pada saat krisis ekonomi yang justru membawa berkah bagi para nelayan karena harga hasil tangkapan laut melambung. "Waktu itu, antrean yang minta dibuatkan perahu sampai 17 orang. Kami sampai kewalahan, terutama mencari bahan baku," jelasnya.

MENGENAI kesulitan bahan baku, yaitu kayu jati, putra pertama Mislachun, Ashari (41), yang biasa mengusahakannya. Dia pernah ditawari kayu-kayu ilegal yang mudah didapat oleh beberapa orang di lingkungan hutan jati di Bojonegoro. Namun, karena sadar risiko yang bisa membuat dia ditahan dan tutupnya galangan yang selama puluhan tahun menjadi gantungan hidup keluarga besarnya, dia menolak.

"Biar lebih mahal, lama, dan prosedurnya kadang berbelit, saya tetap memilih memakai kayu legal dari Perhutani. Selain aman, mutu kayu Perhutani masih di atas kayu rakyat atau kayu ilegel lainnya yang lebih mudah didapat," jelas Ashari.

Selain kayu jati yang rata-rata dibutuhkan satu sampai dua meter kubik untuk tiap perahu, bahan lain yang diperlukan adalah dempul, cat, mur, baut, kayu bung untuk pasak, dan peralatan tukang pada umumnya seperti pahat, palu, gergaji, bor, dan kapak pacul.

"Bahkan untuk ukuran dan kelengkungan lambung perahu, kami mendasarkan pada kebiasaan dan feeling saja. Enggak ada gambar sebelum bikin perahu, soalnya dari zaman dulu perahu nelayan Lumpur ya seperti itu, enggak pernah berubah," jelas pria yang sempat kuliah ekonomi pembangunan selama empat semester ini.

Karena bentuk yang selalu tetap dengan cantikan yang khas di depan dan di belakang dasaran perahu tersebut, pengalihan keahlian pembuatan perahu menjadi lebih mudah. "Saat ini sudah ada dua anak saya yang bisa mandiri membuat perahu. Ukurannya adalah kemampuan mereka melengkungkan dan memuntir kayu untuk lambung perahu. Itu bagian tersulit. Kalau itu sudah bisa, dia bisa mandiri," jelas Mislachun.

Saat ditanya siapa yang kira-kira akan menjadi penggantinya kelak sebagai pembuat perahu yang menjadi penopang kehidupan sekitar 800 nelayan tradisional yang terkelompok dalam tujuh balai ini, pria berkacamata ini tidak bisa memastikan. "Seperti saya dulu juga begitu. Hampir semua saudara saya membantu bapak membuat perahu. Tetapi, yang akhirnya menggantikan profesinya, ya cuma saya. Yang lain memilih pekerjaan lain," paparnya.

MESKIPUN modernisasi telah merasuk dalam kehidupan nelayan tradisional, seperti penggunaan mesin menggantikan layar, jaring pabrik pengganti jaring bambu, dan makin ekspansifnya permukiman nelayan hingga menjorok ke tepi laut, tradisi yang menyertai pembuatan sebuah perahu tetap terpelihara.

Seperti dituturkan Mislachun, sebelum memulai membuat perahu, terlebih dahulu harus ditentukan tanggal dan hari baik menurut perhitungan kalender Jawa. Setelah itu, pertama-tama dibuat dasaran dan cantikan yang kemudian disambung. Usai penyambungan, harus diadakan semacam selamatan dengan syarat bubur merah dan putih, rujak, dan dawet.

Selamatan dimaksudkan untuk memohon berkah dari yang kuasa melalui perahu tersebut. Selamatan berikutnya dilakukan sesaat sebelum perahu yang sudah selesai dikerjakan diluncurkan ke laut. Dua selamatan ini wajib, dan selalu dilakukan oleh pemesan perahu sejak dulu.

"Hari dan tanggal baik itu ditentukan oleh pemesan perahu, sesuai dengan perhitungan dan keyakinannya. Kami tidak turut campur dalam penentuannya," ujarnya.

inu

No comments: