Friday, February 22, 2008

organik

KEGEMBIRAAN dan optimisme terpancar dari wajah 31 petani yang tergabung dalam Kelompok Among Tani Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (25/5/2002).

Bukan karena pupuk yang akhir-akhir ini langka telah melimpah tersedia di desa mereka dengan harga terjangkau. Kegembiraan dan optimisme itu terpancar karena munculnya tekad yang kuat dari para petani di lereng Gunung Semeru ini melepaskan ketergantungannya pada pupuk kimia seperti urea yang menjadi langka dan tidak terjangkau harganya saat musim tanam tiba.

Tekad ini muncul karena hasil panen raya perdana padi seluas 25 hektar yang mereka tanam dengan pupuk organik, Desember 2001, berhasil dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dan tentu menguntungkan kelestarian lahan pertanian.

Sebelumnya, jarang bisa melihat kegembiraan dan optimisme di wajah para petani, sekalipun musim panen tiba. Pasalnya, kenyataan kelangkaan pupuk dan jatuhnya harga gabah selalu menyertai setiap musim panen tiba. Hasil panen yang telah para petani tunggu dengan kucuran keringat di bawah teriknya Matahari selama sekitar empat bulan, seakan tidak ada nilainya.

"Kami merasakan itu semua. Rasanya makin sulit saja kami bisa gembira setiap kali musim panen tiba. Harga gabah jatuh. Urea langka dan harganya lalu naik. Padahal, setiap musim tanam tiba, jumlah urea yang kami gunakan selalu harus lebih banyak dari musim tanam sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana kami bisa gembira dengan kondisi seperti itu," papar Poniman (50).

Karena kesadaran jeratan belenggu tersebut, dimulailah upaya Poniman dan 30 petani lainnya untuk meninggalkan ketergantungan menggunakan pupuk kimia seperti urea san SP 36. Upaya makin gigih dilakukan setelah mendapati kenyataan bahwa tanah pertanian mereka yang semula subur menjadi tandus dan miskin unsur haranya setelah pemakaian pupuk kimia.

Tidak diperlukan penelitian macam-macam untuk mengetahuinya. Poniman mengatakan, meningkatnya jumlah urea yang mereka gunakan setiap musim tanam membuktikan kemiskinan unsur hara di lahan mereka. Pada tahun 1970-an petani hanya membutuhkan 150 kg urea, namun makin lama kebutuhan urea meningkat, dan sekarang mencapai 500 kg per hektar.

Menurut penelitian yang dilakuan oleh Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura Jatim di tujuh kabupaten, indikasi lain kemiskinan tanah akibat penggunaan pupuk kimia telihat dari sisa kandungan organik di lahan pertanian tersebut yang hanya tinggal 1,7 persen. Padahal, idealnya kandungan organik di lahan pertanian adalah lima persen. Penggunaan pupuk kimia tidak mampu memperbaiki kondisi ini, tetapi justru sebaliknya, makin mempermiskin.

"Kondisi tersebut membuat beberapa dari kami menyambut baik tawaran Koperasi Tani Nusantara yang bersedia memberi modal dan membeli hasil pertanian yang kami kembangkan secara organik. Saat ini baru 25 hektar dengan 31 petani. Namun, saya yakin dengan keuntungan yang lebih banyak tidak hanya secara ekonomis, 200 hektar lahan yang ada di kecamatan kami akan berubah menjadi lahan pertanian organik," ujar Poniman yang bersama keluarganya menggarap lahan seluas enam hektar.

PETANI Desa Oro-oro Ombo termasuk beruntung, karena bisa beralih ke pertanian organik pada saat jutaan petani lain di Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali tergantung pada pupuk kimia. Mereka beruntung karena lahan pertaniannya berada di dataran tinggi di lereng Gunung Semeru.

Di dataran tinggi, karakteristik lahan yang disyaratkan untuk bisa dikembangkan secara organik terpenuhi. Karakteristik itu adalah memiliki mata air langsung yang mengalir ke lahan tanpa melalui daerah lain, lahan sangat subur dan memiliki unsur hara yang tinggi, belum ada aktivitas penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara intensif, lahan jauh dari permukiman padat, dan jauh dari kegiatan industri yang menghasilkan limbah.

Dari pemeriksaan lapangan pada tanggal 7-8 Mei 2002 oleh Badan Sertifikasi Organik EMBRIO dan Lembaga Pengawasan Produk Pertanian, dinyatakan, kondisi lahan pertanian di Desa Oro-oro Ombo sangat mendukung untuk pengembangan pertanian organik. EMBRIO yang mendapat lisensi dari International Federation of Organic Agriculture Movement (IFOAM) kemudian mengeluarkan sertifikat kelayakan pertanian organik di areal 25 hektar tersebut.

Sertifikasi ditujukan untuk melindungi konsumen dari penipuan atau manipulasi produk organik di pasar dan melindungi produsen (petani) produk pertanian organik dari produk lain yang disebut-sebut sebagai produk organik. Selain itu, sertifikasi ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bahwa seluruh tahapan produksi, persiapan, penyimpanan, pengangkutan, dan pemasaran dilakukan sesuai persyaratan sistem organik yang berlaku secara internasional.

Sebagai contoh adalah persyaratan teknis yang termasuk dalam aspek teknis berupa lahan dan bibit. Lahan yang digunakan untuk produksi pertanian organik harus bebas dari bahan kimia sintetis (pupuk kimia dan pestisida). Jika lahan yang akan digunakan berasal dari lahan yang sebelumnya digunakan untuk pertanian non-organik, maka lahan itu harus dilakukan konversi selam 12 bulan. Sementara untuk benih dan bibit harus digunakan dari pertanian organik pula, dan tidak boleh berasal dari produk rekayasa genetika.

SEBAGAI ganti pupuk kimia berupa urea dan SP 36 yang selama ini digunakan, para petani beralih pada pupuk castingyang merupakan kotoran cacing yang dipelihara dengan memberinya pakan jerami dan kotoran ternak. "Rata-rata dibutuhkan satu ton castinguntuk lahan seluas satu hektar, yang ditaburkan dua kali saat setelah dibajak dan setelah 20 hari tanam," tutur Susapto (40).

Karena baru memulai, untuk sementara, Susapto dan petani lain mendatangkan castingyang sudah jadi dari Lumajang dengan harga per kuintal Rp 70.000. "Namun, sekarang kami sudah bisa membuat sendiri pupuk organik tersebut. Kami hanya perlu membeli cacing penghasil castingyang didatangkan dari Malaysia," jelasnya. Proses pembuatan pupuk organik ini memakan waktu satu minggu. Selain cacing yang dibeli dengan harga Rp 100.000 per kilogram dari PT Mega Surya Lumajang, bahan yang diperlukan adalah jerami, cairan pupuk FGSP, dan kotoran ternak yang merupakan pakannya.

Dari penelitian yang dilakukan Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Kabupaten Lumajang, hasil yang diperoleh dengan penggunaan pupuk organik adalah kesuburan lahan dan produktivitasnya meningkat, kualitas produk lebih baik dan sehat, nilai jual lebih tinggi, pendapatan petani meningkat, dan petani menjadi terampil dan mandiri.

SEPERTI sudah dikemukakan, tidak semua lahan pertanian bisa diolah secara organik. Namun, dari sekitar 1.160.426 hektar luas lahan pertanian di Jatim, sekitar 1.830 hektar lahannya layak dikembangkan untuk pertanian organik. Lahan itu tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Lumajang (880 hektar), Magetan (418 hektar), Malang (280 hektar), Tulung Agung (140 hektar), Ngawi (55 hektar), Jombang (37 hektar), dan Madiun (20) hektar.

Dengan surplus produksi padi dua juta ton dibandingkan tingkat konsumsi masyarakat di Jatim, maka merupakan keputusan sangat tepat mengembangkan pertanian organik di 1.830 hektar lahan potensial tersebut. Dengan demikian, surplus produksi padi yang merupakan salah satu faktor penyebab turunnya harga dasar gabah, dapat dialihkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan diminati pasar dunia, yaitu produk pertanian organik.

inu

No comments: