SEPI dan terpencil. Kesan itulah yang menyergap ketika memasuki Kompleks Makam Siti Fatimah binti Maimun di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur (Jatim). Kesan ini sama sekali berbeda jika, misalnya, kita memasuki kompleks makam penyebar Islam lainnya seperti Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di kabupaten yang sama.
DUA kompleks makam terakhir rata-rata dikunjungi 25 rombongan bus peziarah setiap hari. Peziarah tidak hanya berasal dari Jatim atau Pulau Jawa saja, tetapi juga dari Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, di Kompleks Makam Siti Fatimah binti Maimun yang bergelar Putri Dewi Retno Swari, satu rombongan bus peziarah per minggu saja sangat jarang terjadi.
"Biasanya yang datang berombongan ke makam ini adalah rombongan yang kelebihan waktu saja. Kalaupun ada sangat jarang. Belum tentu seminggu sekali ada yang datang berombongan. Setiap hari, ya seperti ini suasananya. Sepi," tutur Hasim (46) yang secara turun-temurun menjadi juru kunci makam tersebut.
DITILIK dari umur, kompleks makam Islam yang menjadi penyibak kejayaan Gresik masa lalu ini merupakan yang tertua. Di makam inilah ditemukan sumber tertulis primer berupa batu nisan berhuruf Kufi (Arab), berbahasa Arab, dan terkenal dengan sebutan Batu Nisan Leran (de Grafsteen te Leran). Penamaan ini didasarkan pada tempat ditemukannya batu nisan, yaitu Desa Leran.
Menurut Mohammad Yamin, orang pertama yang menemukan dan membaca tulisan ini adalah peneliti asal Belanda JP Moquette, tahun 1911. Ia menerjemahkan tulisan di batu nisan tersebut ke dalam huruf Arab baru.
Terjemahannya dalam bahasa asing tertuang dalam Handelingen van hest Eerste Conggres voor de Tall, Land, en Volk enkunde van Java. Seperti diterjemahkan Yamin, tulisan dalam nisan tersebut berbunyi sebagai berikut: Atas nama Tuhan Allah Jang Maha-Penjajang dan Maha Pemurah. Tiap-tiap machluk jang hidup di atas bumi itu adalah bersifat fana. Tetapi wadjah Tuhan-mu jang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanja. Inilah kuburan wanita jang mendjadi kurban sjahid, bernama Fatimah binti Maimun, putera Hibatu'llah, jang berpulang pada hari Djumijad ketika tudjuh... sudah berliwat bulan Radjab dan pada tahun 495, jang mendjadi kemurahan Tuhan Allah Jang Mahatinggi, bersama pula Rasulnja Mulia. (Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit, Jajasan Prapandja, Djakarta: 1962).
Mengenai tahun meninggalnya Fatimah yang diduga karena terserang wabah penyakit ini, Moquette membacanya tahun 495 H atau 1102 M, tetapi menurut Yamin, ada kemungkinan pula tahun 475 H atau 1082 M. Perbedaan ini disebabkan karena masih ada keraguan dalam membaca satu kata yang mungkin berarti 70 atau mungkin berarti 90. Berdasar tarikhnya, Yamin dalam buku tersebut menyatakan, tulisan Leran merupakan tulisan Arab tertua di Asia Tenggara.
Dari interpretasi tulisan tersebut, para peneliti sependapat bahwa Fatimah yang menurut juru kunci makam berasal dari negeri Kedah, Malaka, adalah pemeluk Islam. Sementara interpretasi tentang beradanya Islam di Leran pada masa itu terdapat berbagai asumsi yang berbeda. Yang pasti, pada masa itu Leran telah menjadi daerah permukiman dengan status desa perdikan "Sima" yang di dalamnya hidup orang-orang bebas yang umumnya identik dengan pedagang.
LUAR biasa penting peninggalan sejarah di makam tempat 13 pemeluk Islam pertama di Jawa ini dimakamkan. Namun sayang, berbeda dengan beberapa makam bersejarah lain yang tersebar di wilayah Gresik, kompleks makam ini terkesan terabaikan oleh pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk mengelola dan melestarikan peninggalan bersejarah ini.
Petunjuk jalan atau penanda ke arah makam yang terletak di tepi Jalan Manyar miring dan hampir rubuh tidak terurus. Tulisan petunjuk sudah tidak lagi terbaca karena seluruh catnya telah mengelupas.
Memang ada gerbang bercat hijau mencolok di mulut jalan menuju makam. Namun, seperti penuturan Hasim yang sejak kecil bersama orangtuanya tinggal di kompleks makam sebagai juru kunci, gerbang itu merupakan sumbangan pribadi seorang kiai asal Jombang.
Mengenai pemasangan jaringan listrik dan pengaspalan jalan menuju makam, Hasim menuturkan, kejadiannya kebetulan dan terlihat tidak ada konsep, meskipun tetap disyukurinya. "Tahun 1996, hari Jumat, saya ke Pak Bupati (Soewarso-Red) untuk memberitahu kalau makam perlu penerangan listrik. Sabtu berikutnya tiang listrik datang, Minggu didirikan, dan Senin sudah menyala lampunya," paparnya penuh semangat.
Pengaspalan jalan pun terkesan kebetulan saja. Suatu hari, pada tahun 1996, anak bupati bersama beberapa temannya dengan mobil datang ke makam. Waktu itu jalan masih becek. Mobil yang kotor kemudian dilumuri lumpur jalan. Anak itu lalu pulang memberitahu bapaknya bahwa ada makam kuno bersejarah, tetapi jalannya becek sambil menunjukkan mobilnya yang penuh lumpur. "Tidak berapa lama kemudian jalan ke makam diaspal," tutur juru kunci yang sejak tahun 1979 diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Trowulan, Mojokerto.
Setelah pengaspalan jalan dan pemasangan jaringan listrik, nyaris tidak ada lagi perhatian dari mereka yang berwenang untuk mengembangkan, memelihara, dan melestarikan kompleks makam bersejarah yang terletak sembilan kilometer arah baratlaut Gresik ini. Rehabilitasi terakhir oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jatim dilakukan tahun 1979.
"Dua tahun ini memang berdiri yayasan makam yang dibentuk oleh desa. Namun, apa yang dilakukan tidak lebih dari mengurusi kotak-kotak amal yang tersebar di beberapa sudut makam. Kontribusinya untuk makam tidak ada," jelas Hasim. Bahkan, ketika awal April lalu listrik di kompleks makam dipadamkan karena menunggak rekening selama empat bulan, yayasan yang sebelumnya telah menyanggupi membayar biaya tersebut tidak melunasinya. Hasim sendirilah yang kemudian membayar biaya listrik sekitar Rp 500.000 tersebut.
Ironis memang. Namun, jika dikelola secara sungguh-sungguh dan terkonsep dengan pengadaan sarana dan prasarana pendukung, kompleks makam seluas sekitar 2,5 hektar dengan "benteng" rimbunnya pepohonan ini cukup potensial untuk dijadikan salah satu dari rangkaian wisata ziarah. Dengan dasar urutan waktu, makam yang terbagi dalam empat gugus ini dapat dijadikan awal untuk wisata ziarah makam di seluruh wilayah Kabupaten Gresik.
Di kompleks makam ini, makam Fatimah berada dalam sebuah cungkup berbentuk empat persegi panjang dengan atap berbentuk limasan yang mengerucut. Cungkup ini merupakan bangunan utama dan terbesar. Di dalam cungkup tersebut, selain Fatimah, dimakamkan juga empat orang dayangnya yaitu Nyai Seruni, Putri Keling, Putri Kucing, dan Putri Kamboja.
Selain makam dalam bangunan utama ini, terdapat tiga gugus makam lain tempat dimakamkannya tiga paman Fatimah, tiga panglima, dan dua penjaga. Untuk makam para paman dan panglima, panjangnya makam mencapai sembilan meter dan secara umum dikenal sebagai Makam Panjang. Menurut Hasim, panjangnya makam itu merupakan kiasan mengenai panjangnya rentang waktu yang dibutuhkan untuk menyebarkan agama Islam di Jawa.
Harapan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik untuk menghidupkan wisata ziarah tampaknya membutuhkan waktu panjang melihat terabaikannya makam Islam tertua itu selama ini. Jika pemkab hanya sibuk mengurusi retribusi wisata ziarah untuk peningkatan pendapatan yang saat ini sudah dibuatkan peraturan daerahnya tanpa konsep pengembangan, pemeliharaan, dan pelestariannya, rentang waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan harapan itu mungkin akan lebih panjang lagi.
inu
Friday, February 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment