PEREMPUAN setengah baya itu berjalan terburu-buru dari ruang rias jenazah ke ruang lain di gedung berlantai empat Rumah Duka Atmajaya, Pluit, Jakarta Utara. Tiba di ruang lain yang berukuran 4x23 meter itu, Windy Gozali (45)-nama perempuan itu-mengecek dekorasi di ruangan yang dikerjakan beberapa anak buahnya, tempat jenazah yang sedang diriasnya akan disemayamkan.
Setelah memberi arahan mengenai letak perlengkapan dekorasi seperti patung-patung, kain penutup tembok, dan bunga-bunga, Windy kembali ke ruang rias jenazah, bekerja selama lebih kurang dua jam untuk merias. Usai dirias, jenazah dibawa beberapa karyawan ke ruang yang sebelumnya didekorasi, dimasukkan ke dalam peti, kemudian diserahkan kepada keluarga yang berduka.
Itulah sepenggal aktivitas Windy yang sejak tahun 1997 memilih profesi sebagai perias jenazah. Kesibukan harian itu bisa bertambah, karena di bawah usaha bernama "Firdaus Decoration" dengan 20 karyawan, Windy juga merias jenazah di hampir seluruh rumah duka di Jakarta, meskipun fokusnya tetap di Atmajaya.
Di Atmajaya setiap hari rata-rata lima jenazah harus dia tangani. Proses yang panjang dari saat jenazah tiba, memberinya formalin khusus agar pembusukan bisa diperlambat, sampai membuat jenazah tidak kaku.
Secara umum, untuk merias jenazah yang meninggal normal, diperlukan waktu dua jam. Sementara untuk yang meninggal karena kecelakaan, memakan waktu sampai empat jam. Untuk keperluannya merias, Windy menyatukan perlengkapan dalam satu tas yang berisi semua perlengkapan rias seperti alas bedak, bedak, lipstik, hairspray, pemotong kuku, gunting, jarum, dan benang untuk kulit maupun baju.
"Benang dan jarum jahit baju saya siapkan karena kadang ada kancing baju jenazah yang lepas dan perlu dijahit," ujar Windy (1/2/2002).
WINDY Gozali lahir di Jakarta 9 November 1956. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) Santa Maria, Jakarta. Windy tidak sedikit pun memimpikan profesi ini.
Profesi menjadi perias jenazah, dirasakan Windy seperti menghampirinya. Ia mengisahkan, tahun 1995, ibunya terserang stroke dan dirawat selama lima bulan di Rumah Sakit Medistra. Karena sakitnya parah, Windy sekeluarga pasrah dan yakin, tidak lama lagi ibunya akan meninggal.
Dalam bulan-bulan terakhir perawatan tersebut, Windy yang mengerti betul tabiat ibunya yang selalu ingin tampil sempurna, mempersiapkan semua perlengkapan untuk upacara pemakaman. Dia memilih semua perlengkapan terbaik, mulai dari pakaian, sepatu, rambut palsu, sampai perlengkapan dekorasi ruangan.
"Mama saya orangnya paling gengsian. Penampilannya selalu mau yang terbaik. Makanya, saya mau membuat kondisi Mama cantik seperti waktu masih hidup, saat disemayamkan di Dharmais," kenang Windy. Saat disemayamkan, ternyata banyak pelayat yang memuji riasan dan dekorasi yang dibuatnya.
Selang beberapa hari, ibu mertua pemimpin Grup Modern Samadikun meninggal dan disemayamkan di Rumah Duka Atmajaya. Karena tahu hasil riasan dan dekorasi Windy, Samadikun memintanya merias dan mendekorasi jenazah ibu mertuanya.
"Saya bilang, tidak bisa karena kondisinya berbeda. Waktu Mama saya meninggal, saya sudah menyiapkan semua perlengkapannya. Tetapi, dia meminta saya menyebutkan semua perlengkapan yang dibutuhkan dan akan membelikannya. Tanpa saya sadari, hari itulah awal mula profesi saya sebagai perias jenazah," kenang Windy tersenyum.
BANYAK protes muncul berkaitan dengan pilihan profesinya ini, terutama dari keluarga dan anak-anaknya. "Susah ngasih penjelasan ke mereka. Sempat frustrasi juga, karena mereka tidak percaya, saya memang menyukai pekerjaan ini," ujar Windy yang dari dua kali perkawinannya dikarunia lima anak.
Empat anak dari suami pertama, yaitu Alferd (28), Alberd (27), Angela (23), dan Andrew (22) berada di Australia sejak remaja. Sementara seorang anak dari perkawinan keduanya dengan Andree Purwanto, yaitu Andhy (12) tinggal bersamanya di Bintaro.
"Dalam kebingungan itu, saya didampingi oleh Pendeta Pengki Andu. Dari pendampingan ini saya menemukan jawaban. Jawaban itulah yang kemudian saya jelaskan kepada keluarga. 'Saya merias untuk menghibur yang berduka dan mempersiapkan mempelai-mempelai Allah.' Setelah saya jelaskan, lama-kelamaan mereka mengerti juga dan sampai sekarang tetap mendukung," kenang Windy.
TOTALITAS kerja dan kemitraannya dengan Rumah Duka Atmajaya yang berhasrat ingin menjadi semacam one stop service untuk urusan jenazah, membuat banyak pengguna jasa merasa puas. "Hampir semua keluarga jenazah yang saya rias mengirimkan ucapan terima kasih dan penghargaan atas kerja saya," ujar Windy sambil menunjukkan beberapa kartu ucapan terima kasih yang dikumpulkannya.
Mengenai biaya, Windy mengatakan, bervariasi, mulai dari yang bebas biaya sampai ada yang biayanya mencapai 50 juta rupiah. "Besarnya biaya, umumnya tergantung pada banyaknya bunga yang dipakai. Namun, karena ini usaha sosial juga, kami tetap terbuka membantu sepenuhnya mereka yang memang tidak mampu," ujar Windy.
Meskipun tampaknya sederhana karena yang dirias tidak akan protes, Windy mengatakan, merias jenazah bukan pekerjaan mudah. Selain keahlian, keberanian, dibutuhkan seperangkat kosmetik yang harganya mahal karena umumnya produk luar negeri. Untuk bedak, dia selalu menggunakan bedak merek Kose asal Jepang, yang harganya bisa lima kali lipat lebih mahal dari bedak lokal.
"Pernah kami memakai kosmetik lokal, tetapi selalu tidak tahan lama dan riasan jadi rusak," jelas Windy. Agar lebih tahan lama, Windy juga mengoleskan alas bedak khusus untuk merapatkan jaringan kulit wajah yang akan dirias.
Suatu kali ada yang penasaran dengan hasil riasan Windy yang bisa membuat jenazah tampil lebih cantik dari keadaan sebelum meninggal. Bahkan, oleh pelayat yang pangling, Windy dikira memiliki "ilmu" yang bisa mengubah orang menjadi cantik.
"Saya jelaskan kepada mereka. 'Umumnya, orang yang meninggal sebelumnya sakit lama. Karena sakit, orang itu jarang dibersihkan atau dimandikan. Terang saja, setelah saya rias jenazah menjadi lebih cantik, karena sebelumnya dimandikan bersih dan dibutuhkan waktu setidaknya dua jam untuk meriasnya," papar Windy sambil menyebutkan foto terakhir jenazah sebagai acuan untuk merias.
TIDAK takut? Perkara takut jelas dialami Windy. Akan tetapi, bersamaan dengan ketekunannya dan kecintaannya pada profesi, rasa takut yang pernah membuatnya tidak berselera makan itu perlahan-lahan menghilang.
"Sekarang justru suami saya yang sering takut sehingga mengajak pindah rumah," ujarnya sambil tertawa.
Perkara takut inilah yang membuat Windy sampai sekarang kesulitan mencari pengganti atau setidaknya pendamping untuk berprofesi sebagai perias jenazah. Dari beberapa kali usahanya mencari, hasilnya selalu nihil.
"Bahkan, ada satu calon perias yang lari terbirit-birit pergi ketika saya ajak masuk ke ruang jenazah," ujar Windy.
"Saya bisa menekuni pekerjaan ini karena ada dorongan untuk menghibur mereka yang berduka. Kalau keluarga yang berduka terhibur, saya merasa hidup saya berarti untuk orang lain. Inilah yang mampu mengatasi rasa takut saya," ujar Windy.
inu
Friday, February 22, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Boleh minta alamat lengkap atau kontaknya bu Windy ini?
saya ada keperluan untuk tugas liputan saya, bisa send by email saya :
sahanmeylisa1596@gmail.com
Thankyou
Klu ada yg tau no contak ibu Windy bisa DM..sy kehilangan kontak beliau.. Beliau customer sy yg baik banget kepada sy.. Terimakasih orang baik yg berkenan ksh info ke saya🙏
Post a Comment