JIKA kalangan buruh galangan kapal di Swedia melakukan unjuk rasa, yel-yel yang mereka usung biasanya berbunyi: "Hanya ada satu kata lawan". Di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, biasanya yang kerap melakukan demonstrasi adalah para buruh. Akan tetapi, ketika pemerintah secara serentak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik, dan tarif telepon, kalangan buruh dan pengusaha bersatu menolak kenaikan tersebut.
Baru pertama kali dalam sejarah aksi unjuk rasa di Tanah Air, kalangan buruh bisa bersatu dan besinergi, merapatkan barisan guna menentang keputusan pemerintah. Padahal, beberapa waktu lalau ketika komisi pengupahan sedang merumuskan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Jatim, buruh dan pengusaha ibarat kucing dan anjing.
Masih lekat dalam benak kita bagaimana sengitnya perseteruan antara pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Timur (Jatim) dengan para buruh dalam menentukan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2003, beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, kedua belah pihak seolah-olah lupa dengan perseteruan itu, tetapi sebaliknya menjadi kompak ketika menyikapi kenaikan serentak harga bahan bakar minyak (BBM), telepon, dan tarif dasar listrik (TDL).
Unsur dari kalangan buruh dan pengusaha, Kamis (9/1/2003), datang beramai-ramai ke Gedung DPRD Jatim menuntut agar pemerintah pusat bisa segera membatalkan kenaikan harga-harga itu. Kemudian seperti biasanya, DPRD Jatim menjanjikan akan menyampaikan tuntutan buruh dan pengusaha tersebut ke DPR. Mereka akan datang bersama-sama ke Jakarta pada tanggal 15 Januari 2003.
AKAN tetapi, apakah "kemesraan" antara buruh dan pengusaha ini akan langgeng? Sulit memastikan. "Usai isu penolakan kenaikan tarif listrik, telepon, dan harga BBM ini bergulir, kami akan kembali dengan kepentingan kami masing-masing. Dan, tidak menutup kemungkinan kami akan berseteru kembali (dengan pengusaha) usai isu ini, terutama terkait dengan upah yang selama ini menjadi pemicu perbedaan kepentingan," papar Syamsudin (33), aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sidoarjo.
Perseteruan antara buruh dan pengusaha biasanya lebih banyak menyangkut soal upah. Sebelumnya, dalam pembahasan di komisi pengupahan, Apindo Jatim bersikukuh ingin menekan UMK serendah mungkin, sebaliknya dari unsur buruh yang diwakili Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jatim, meminta adanya kenaikan UMK 2003.
Lantaran perseteruan yang dipicu karena beda kepentingan ini, penetapan UMK Provinsi Jatim molor dari rencana penetapannya akhir November 2002, menjadi terkatung-katung hingga pertengahan Desember 2002. Saat UMK sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 188/294/KPTS/013/2002, pengusaha dan buruh yang tetap keberatan meminta agar keputusan itu direvisi.
Ketegangan terus berlanjut meskipun Gubenur Jatim Imam Utomo akhirnya merevisi UMK untuk lima kota/kabupaten yaitu Kota Batu, Kota Pasuruan, Kabuaten Malang, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Ponorogo tertanggal 31 Desember 2002. Revisi UMK tersebut disambut dengan permintaan 20 pengusaha yang meminta agar pemberlakuan upah yang menurut para buruh sangat minimal itu ditangguhkan.
Pemerintah yang berusaha menjadi penengah perseteruan yang seperti tak berujung ini berusaha bijak. Memahami perasaan buruh yang kian terjepit di tengah kondisi perekonomian ini, permohonan penangguhan 20 pengusaha tidak langsung dikabulkan. Dari 20 pemohonan itu, setelah kelengkapan administrasinya dicek, hanya satu perusahaan saja yang layak dipertimbangkan permohonannya.
MENCERMATI alotnya persetujuan dan kesediaan pengusaha membayar upah minimum kepada buruhnya, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) SPSI Jatim Rudi Prayitno heran dan bertanya-tanya. "Mau ditekan sampai berapa lagi? Upah yang kami usulkan dan kemudian ditetapkan dalam SK Gubernur Jatim itu sudah sangat minimal," ujarnya, saat dimintai komentar perkara perseteruan pengusaha dan buruh yang tak kunjung usai.
Tahun berganti meskipun perseteruan antara buruh dan pengusaha tampaknya kekal dan abadi. Namun, saat pemerintah memberikan "kado" Tahun Baru 2003 yang mengejutkan berupa kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM), telepon, dan listrik secara serentak, perseteruan buruh dan pengusaha tidak kekal lagi. Sesaat, demi kepentingan yang mungkin juga sesaat, dua pihak yang selama ini berbeda kepentingan bersatu menentang kebijakan pemerintah yang menurut kedua belah pihak sangat tidak bijak.
Gelombang aksi yang semula dilakukan terpisah oleh kedua belah pihak untuk menentang kenaikan sejumlah tarif kini menyatu. Buruh dan pengusaha yang selama ini selalu berseteru karena berbeda kepentingan kini satu suara berteriak menentang kebijakan kenaikan sejumlah tarif yang dinilai sangat memberatkan. Dan, setidaknya, Kamis (9/1) kemarin, ratusan buruh dan sejumlah pengusaha dengan menggunakan belasan kendaraan mendatangi Gedung DPRD Jatim.
"Bersama para pengusaha yang selama ini berseteru dengan kami jika datang ke DPRD, kali ini kami datang dengan satu suara untuk menentang kenaikan sejumlah tarif yang terasa sangat memberatkan," ujar Solichin (28), buruh pabrik garmen asal Sidoarjo yang datang ke Gedung DPRD bersama sejumlah rekan kerjanya.
Begitu tiba di gedung di Jalan Indrapura tersebut, Solichin dan sejumlah rekannya langsung bergabung dengan ratusan buruh lainnya yang tergabung dalam Forum Serikat Buruh/Serikat Pekerja (FSB/SP) se-Jatim dan sudah lebih awal berada di gedung itu untuk menentang kebijakan pemerintah menaikkan secara serentak sejumlah tarif. Dalam spanduk yang mereka bawa terbaca jelas kesepahaman antara buruh dan pengusaha dimana tertulis "Pengusaha dan Buruh Jawa Timur Sepakat Menolak Kenaikan Listrik, Telepon, dan BBM".
Mendengar aspirasi kedua belah pihak yang kerap datang ke Gedung DPRD Jatim lantaran perselisihan dan kini datang karena kesepahaman, anggota DPRD Jatim yang menerima mereka meluluskan tuntutan. Tanpa banyak perdebatan dan penjelasan, DPRD Jatim berjanji akan menyampaikan tuntutan buruh dan pengusaha yang memiliki suara sama ini ke DPR RI.
inu
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment