TRAGIS. Di tengah keriaan kita merayakan Idul Fitri 1423 H, kesedihan mendalam merasuk ke dalam hati puluhan keluarga yang pada saat bersamaan kehilangan anggota keluarganya. Banjir yang diikuti rontoknya material pegunungan menewaskan 26 orang di pemandin air panas Wana Wisata Pacet, Desa Padusan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur (Jatim).
Beragam reaksi muncul menyikapi musibah ini. Mendengar musibah ini, puluhan orang dari Badan SAR Nasional, Palang Merah Indonesia (PMI), polisi, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan berbagai unsur masyarakat lain yang kemudian tergabung dalam tim evakuasi, bergerak mencari dan menolong korban. Meskipun terkesan kurang koordinasi, namun kecepatan gerak tim evakuasi itu mengagumkan.
Mendapatkan kepastian jumlah korban jiwa yang tidak sedikit, saat matahari belum juga muncul, Kamis lalu, Gubernur Jatim Imam Utomo mengumpulkan jajaran dinasnya untuk segera bergerak ke lokasi musibah yang berubah menjadi sungai dengan aliran air cukup deras. Dalam kunjungannya, dengan geram mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya ini memerintahkan agar Wana Wisata Pacet ditutup untuk selamanya. Tindakan tegas, namun reaktif!
Dua hari berlalu dan masih di tengah kepiluan hati puluhan keluarga korban, dua menteri berkunjung ke lokasi musibah. Tidak ada yang istimewa dari kunjungan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno dan Menteri Riset dan Teknologi Hatta Radjasa selain ungkapan rasa belasungkawa.
MENDAPATI musibah yang memilukan seperti yang terjadi di tempat Pemandian Air Panas Wana Wisata Pacet, kebanyakan dari kita yang tertekan merasa nyaman untuk berandai-andai dan menyusun seluruh kalimat dengan kata depan "seandainya". Seandainya saja dia segera menjauh saat melihat air bah datang. Seandainya saja dia tidak jadi berendam. Seandainya saja dia tidak jadi berangkat ke sana.
Kalimat pengandaian dengan awal kata seandainya bisa meluncur terus dan deras seperti material Gunung Welirang yang menghantam tempat padusan, dan memuncak pada sebuah kalimat pengandaian berisi gugatan, "Seandainya saja Perhutani dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Mojokerto menyikapi secara arif peringatan awal alam lewat longsor kecil seminggu sebelum kejadian dengan menutup lokasi pemandian!"
Dibandingkan semua pengadaian lain, pengandaian terakhir ini adalah yang paling layak dikemukakan dan dihunjamkan ke pihak-pihak yang kemudian mengambil keputusan untuk tetap membuka kawasan Wana Wisata Pacet, meskipun sudah mengetahui potensi musibah lewat tanda alam sepekan sebelumnya. Pengandaian itu kemudian menjadi gugatan mendalam, kenapa tetap saja nekat membuka wana wisata sehingga meminta korban puluhan jiwa meninggal dunia?
Belum ada jawaban pasti mengenai diambilnya keputusan untuk tetap membuka kawasan wana wisata yang secara potensial dapat menjadi sumber bencana. Berusaha arif, PT Perhutani Unit II sebagai pemilik dan pengelola wana wisata dan jajaran Muspida Kabupaten Mojokerto yang turut menikmati hampir separuh keuntungan wisata itu berujar, "Musibah ini kesalahan dan tanggung jawab kita bersama dan menjadi bahan untuk introspeksi kita semua."
Itu saja komentar mereka yang tentu saja amat sangat tidak menenangkan hati puluhan keluarga korban yang kehilangan anggota keluarga yang amat dicintainya. Ketika dituntut pertanggungjawaban atas musibah yang sebetulnya dapat dicegah ini, baik Perhutani maupun Muspida Kabupaten Mojokerto justru melemparkannya tinggi ke langit untuk menyalahkan alam.
inu
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment