Monday, February 25, 2008

menangis

BERAWAL dari Tugu Pahlawan, Surabaya. Terik sinar matahari yang tepat berada di ubun-ubun kepala tidak menyurutkan niat ratusan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Jeritan Rakyat Indonesia Tertindas (Jerit) melakukan long-march, Selasa (11/3) lalu. Jarak sekitar dua kilometer menuju Gedung Negara Grahadi seolah tidak terasa ketika niat bulat sudah diikrarkan bersama-sama.

Diawali dengan truk pengusung sound system yang sekaligus difungsikan sebagai panggung orasi berjalan, ratusan laki-laki yang tergabung dalam Jerit itu lantas berbaris dan berarak. Perlengkapan ujuk rasa standar mereka bawa, seperti selebaran berisi tuntutan, poster, dan spanduk.

Namun, berbeda dengan aksi unjuk rasa serupa yang kerap digelar di jalan-jalan di Surabaya, aksi Jerit tergolong unik. Seluruh peserta unjuk rasa yang kira-kira berjumlah 400 orang laki-laki dibekali topeng kertas bergambar raut muka seseorang yang sedang menangis karena duka mendalam.

Selain kerut di wajah, duka mendalam ditampilkan dalam tetasan darah dari sepasang mata dalam topeng itu. Ditanya soal keunikan unjuk rasa ini, Koordinator Jerit Arif PA berujar, "Terus terang kami kesulitan mengekspresikan kepedihan mendalam kami atas keadaan yang menimpa kami saat ini."

Di tengah kesulitan mencari media atau mengekspresikan duka mendalam, Jerit mempunyai ide untuk membuat topeng kertas bergambar raut muka seseorang yang sedang menangis. "Itulah ekspresi kami sesungguhnya di tengah kesulitan ekonomi saat ini. Kami menangis. Karena terus-terusan menangis, kami tidak bisa lagi menangis. Topeng-topeng itu kami harapkan dapat membantu penyampaian pesan kami," ujar Arif yang lantas naik ke atas truk berorasi.

DI atas truk, sepanjang jalan menuju Gedung Negara Grahadi, selain memberikan orasi, Arif memberi komando kepada ratusan massa Jerit yang datang dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Karena massa menyita satu lajur jalan, kemacetan lalu lintas akibat terhambatnya laju kendaraan tidak terhindarkan.

Jerit menyadari ketidaknyamanan pengguna jalan karena aksi yang mereka gelar. Meminimalisir ketidaknyamanan pengguna jalan, Jerit membentangkan tali untuk memberi batas dan meminta pengawalan aparat kepolisian.

"Kami meminta maaf kepada pengguna jalan di Surabaya jika aksi ini mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Kami mohon pemahaman dan dukungan," jelas Sanuri (40), petani asal Mojokerto sambil meminta teman-temannya merapat agar tidak terlalu banyak menyita jalan.

Sanuri datang ke Surabaya bersama beberapa temannya khusus untuk aksi tersebut. Menurutnya, di Kota Surabaya-lah, jeritan dan tuntutan mereka akan bergema dan terdengar ke tingkat penguasa karena terliput media massa.

Saat ditanya apakah tuntutan utamanya dalam aksi unjuk rasa itu, Sanuri singkat berujar, "Agar harga kebutuhan sehari-hari turun harganya dan kembali terjangkau."

Tuntutan Sanuri tidak jauh berbeda dengan tuntutan yang secara formal dicetak dalam selebaran oleh Jerit. Sesaat setelah tiba di depan Gedung Negara Grahadi, tuntutan kepada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz yang secara formal telah dirumuskan itu dibacakan Arif PA.

Di antara tuntutan itu adalah mengembalikan harga kebutuhan pokok di pasaran, mengembalikan aset-aset negeri ini dari tangan asing untuk kesejahteraan rakyat, mengadili para koruptor dan mengembalikan uang untuk kesejahteraan rakyat, dan mengambil kebijakan yang memihak kepada rakyat dan atau mundur sekarang.

USAI pembacaan tuntutan yang diikuti tepuk tangan bergemuruh dan sorak-sorai persetujuan massa bertopeng duka itu, aksi unjuk rasa Jerit di depan Gedung Negara Grahadi sebagai simbol pemerintah diakhiri.

Berangsur-angsur, massa yang datang dari sejumlah kabupaten itu kembali ke daerah mereka masing-masing. Mereka pulang untuk menatap dan menggulati kembali kesulitan hidup yang ternyata tidak langsung berubah karena aksi yang mereka gelar.

Kecewa? Tidak juga! "Tujuan kami beraksi untuk menyampaikan apa yang sesungguhnya kami alami. Kami berharap pemerintah tanggap dan menaruh peduli atas kondisi ini. Itu saja untuk tahap awal ini," jelas Zain (24), seorang pengunjuk rasa.

SAYANG sebetulnya. Aksi simpatik yang sarat pesan dan kritik kepada pemerintah yang mereka nilai sudah mati rasa dan tidak lagi peduli kepada rakyatnya ini tampaknya tidak terlalu berdampak. Padahal, sesungguhnya potensi untuk menjadi berdampak sangat ada.

Di tempat yang sama, pada waktu yang bersamaan pula, belasan mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, berujuk rasa. Apa yang mereka tuntut sebetulnya sama. Hanya, redaksionalnya saja yang sedikit berbeda.

Mahasiswa akhirnya menuntut Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz mundur dengan bahasa pencabutan mandat. Meskipun sudah tahu bahwa tuntutannya sama, mahasiswa yang terlihat begitu bangga dengan jaket almamaternya tidak mau "menyapa". Kontan, terjadi semacam lomba keras-kerasan orasi di antara dua kelompok massa.

Meskipun akhirnya dua massa ini bergabung, mahasiswa yang hanya belasan jumlahnya tetap mengambil jarak dan membuat pemisahan identitas. Mereka tampak enggan disebut sebagai rakyat. Pemisahan identitas ini terus mereka lakukan, juga ketika menyampaikan tuntutan mereka yang sama.

Potensi lain yang dapat bergabung untuk memberi dampak aksi tampak juga dua jam sebelum aksi Jerit dan BEM Unair-ITS itu, di mana Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) juga melakukan aksi. Mungkin karena arogansi masing-masing elemen, potensi-potensi yang sejatinya dapat berdampak itu tidak bersatu.

Model aksi sendiri-sendiri macam ini sering kali terjadi di Surabaya. Karenanya, jangan berharap banyak tuntutan aksi memiliki dampak. Silakan menggelar aksi dan aksi lagi di Surabaya sampai sungguhsungguh tidak bisa berekspresi karena kehabisan energi yang terhadang arogansi.

inu

No comments: