DARATKAN pasukan pendarat. Ada gerombolan gerakan separatis di Samalanga. Tumpas sampai ke akar-akarnya. Percaya dan yakinlah. Tugas mulia ini direstui seluruh rakyatmu!"
Perintah yang diucapkan dengan lantang di tengah dinginnya malam dan gelombang pasang Selat Malaka itu menyengat 1.300 personel Marinir yang tergabung dalam Batalyon Tim Pendarat (BTP-1) Marinir, Senin (19/5/2002) pukul 04.50.
Seperti genderang perang yang ditabuh, pasukan Marinir yang berangkat dari Surabaya, Jawa Timur, sebelas hari sebelumnya, itu lantas teratur membuat persiapan akhir sebelum jam pendaratan (jam-J).
Taklimat yang disiarkan ke seluruh 15 Kapal Republik Indonesia (KRI) yang sudah membentuk formasi pendaratan 2,5 mil dari Pantai Samalanga, Desa Penelit Baru, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tersebut dibacakan langsung oleh Komandan Satuan Tugas Laut Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI Kolonel Arief Rudianto.
Saat itu, di tengah gelap gulita, dalam regu masing-masing, pasukan lantas menyiapkan senjata dan amunisinya. "Perang! Perang! Perang!" ujar anggota Regu III Pleton III serentak sambil mencoba kokang senapan.
Pendaratan diawali dengan keluarnya 10 tank amfibi (PT-76) yang keluar dari mulut tiga KRI Teluk Langsa, KRI Teluk Ende, dan KRI Teluk Sampit. Dengan kawalan ketat pasukan di sekoci dan perahu karet, 10 tank PT-76 mencapai dan menguasai pantai pendaratan pukul 07.00, sesuai dengan rencana "jam-J".
Bersamaan dengan menyingsingnya fajar, rombongan kedua pendaratan, yaitu belasan kendaraan pendarat amfibi (BTR-50), menyusul rombongan tank PT-76 yang telah mencapai Pantai Samalanga tanpa hambatan berarti. Komandan BTP-1 Marinir Letnan Kolonel Joko Supriyanto dan pasukan yang berjumlah lebih dari 200 orang di KRI Teluk Langsa didaratkan dengan sekoci dan perahu karet.
Hambatan terjadi ketika seusai pendaratan gelombang pertama, gelombang laut meninggi mencapai dua meter, arus laut sangat deras, dan angin kencang. Awalnya, empat BTR-50 dan dua kendaraan amfibi pengangkut artileri (KAPA) di KRI Teluk Langsa terhambat oleh lepasnya engsel rampa pada mulut kapal perang buatan tahun 1945 ini.
Kemudian, KAPA pengangkut puluhan personel pasukan Marinir yang keluar dari KRI Teluk Ende terbalik tiga meter menjelang pantai. Akibat kecelakaan ini, satu anggota Marinir tergulung ombak dan tewas, yaitu Sersan Satu (Sertu) Rami (29) dari Batalyon Howitzer Satuan Resimen Artileri Surabaya.
Selain itu, Sertu Kartono juga pingsan karena perahu karet yang ditumpanginya terbalik sekitar tiga meter dari Pantai Samalanga. Pertolongan kesehatan yang dilakukan dengan cepat berhasil menyelamatkan Sertu Kartono yang sempat pucat dan membiru sekujur tubuhnya.
Selama pendaratan, tidak ada gangguan sedikit pun dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak ada satu butir peluru GAM pun dilepas dalam pendaratan yang dipantau Komandan Satuan Tugas Laut PPRC Kolonel Arief Rudianto dari udara itu.
Tidak adanya serangan dari pihak GAM selama pendaratan salah satunya karena empat hari sebelumnya telah dilakukan operasi amfibi oleh dua regu pasukan pengintai amfibi. Selain itu, 15 KRI yang mendukung operasi pendaratan 1.300 personel Marinir ini telah berada di sekitar lokasi pendaratan sejak 20 jam sebelumnya dalam keadaan siaga penuh.
SUASANA hening dan gelap gulita tidak lagi dominan. Jika dianalogikan dan dilihat dengan mata hati, KRI Teluk Langsa seolah menyala. Semangat 227 anggota Marinir yang ada di kapal itu mendadak nyala setelah sebelumnya meredup dan hampir padam.
Meredup dan hampir padam! Ironis memang. Tetapi, itulah yang terjadi dan diakui sebagian anggota BTP-1 Marinir. Penyebabnya tidak lain karena diulur-ulurnya waktu pendaratan, terkait dengan pembicaraan pemerintah dengan pihak GAM.
Kedatangan Panglima Armada RI Kawasan Barat (Armabar) Laksamana Muda Mualimin Santosa yang bertujuan mengangkat semangat dan moril pasukan seolah mengakui dropnya semangat pasukan.
Dapat dipahami, karena selama perjalanan menuju Pantai Samalanga sebagai wilayah pendaratan, lima rencana operasi disiapkan. Empat rencana operasi, yaitu tanggal 12, 15, 17, dan 18 Mei 2003 gagal total!
Bahkan, pada 18 Mei 2003, dua jam rencana operasi disiapkan, yaitu dini hari dan siang hari. Kedua rencana operasi itu pun gagal. "Sampai pusing membuat rencana operasi berikutnya. Selain jenuh, terjangan gelombang membuat konsentrasi buyar," ujar seorang perwira.
Kekecewaan terhadap sikap pemerintah dalam menghadapi GAM itu-yang membuat tertunda operasi militer dan terkatung-katungnya 1.300 personel Marinir-diungkapkan Komandan BTP-1 Marinir Letkol Joko Supriyanto. "Harusnya negara kesatuan RI adalah harga mati," ujarnya setelah kegagalan rencana keempat.
Meredupnya semangat pasukan diungkapkan terang-terangan oleh pasukan Marinir. "Tidak masalah jika kami harus berada di laut dua minggu sekalipun. Akan tetapi, tanpa kepastian pendaratan, lama- lama bukan cuma fisik yang lelah, tapi juga psikis," ujar Letnan Satu Azrin.
Maka jadilah pasukan pemukul reaksi cepat ini justru menempuh perjalanan yang lambat karena ketidakjelasan misi mereka. Perjalanan laut sudah sesuai dengan rencana, yaitu satu minggu. Tetapi mereka lalu mengapung hingga 11 hari.
Logistik KRI tertua buatan Amerika Serikat tahun 1945 yang dikomandani Letnan Kolonel Hadi Susilo juga "meredup" alias menyusut.
"Sayur solar dengan lauk silet," ujar Kopral Dua Sudarno sambil terkekeh, mengomentari bekal yang tersedia. Yang dimaksud solar adalah sayur yang warnanya sudah kehitaman karena tidak lagi segar dan silet adalah lauk hati sapi, diiris sangat tipis.
Akibatnya, bekal operasi pendaratan berupa T-2 (nasi kaleng), yang tiap personel mendapat tiga kaleng, ludes tiga hari sebelum pendaratan.
"Kami pikir perjalanan laut cuma seminggu, jadi bekal pribadi kami habiskan. Tetapi, karena molor empat hari, T-2 kami santap juga sebagai ganjal perut," ujar Sudarno.
Selain makanan, yang juga terbatas di kapal tua seperti KRI Teluk Langsa adalah air bersih. Karena itu, tidak jarang prajurit cuma mandi sekali sehari.
Karena keterbatasan air tawar untuk mandi, setiap ada pengumuman mandi untuk pasukan, semua berupaya bergegas membersihkan badan. Air mengalir hanya 15 menit di buritan. Itu biasanya disambut dengan adu cepat mandi. "Kalau tidak cepat, bisa jadi tidak mandi," ujar seorang prajurit yang hanya bercelana dalam seusai mandi.
MESKIPUN akhirnya mendarat dengan semangat yang berkobar-kobar setelah status darurat militer dikumandangkan di NAD, akibat terkatung-katungnya pasukan di atas laut tetap terasa selama upaya pendaratan. Ketangkasan dan kecepatan reaksi pasukan menurun, terlihat dari rendahnya koordinasi.
Fisik yang tidak terlatih-sebab tidak ada sarana di kapal untuk latihan dan terutama karena tercurah untuk memanggul beban psikis-terlihat ketika pendaratan di Pantai Samalanga.
Begitu juga saat sejumlah personel pasukan di KRI Teluk Langsa yang seharusnya naik kendaraan tempur diangkut dengan sekoci KRI Teluk Sampit. Ketika mendarat, kerja sama sebagai satu pasukan tidak terlihat. Kelelahan psikis juga terasa saat kendaraan amfibi pengangkut artileri dari KRI Teluk Ende terguling.
Menanggapi kecelakaan tersebut, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin di Banda Aceh saat jumpa pers mengatakan, "Ada kendala yang merupakan dinamika pendaratan. Perubahan cuaca begitu cepat dan di luar dugaan."
Dengan segala dinamika pendaratan, langkah awal PPRC ini dinilai berhasil. Netralisasi penguasaan psikologis sudah terjadi dan perang melawan gerakan separatis kini di ambang mata.
Joko Supriyanto menjelaskan, BTP-1 Marinir akan mengarah pada sembilan titik yang selama ini diduga sebagai tempat konsentrasi, tempat pendidikan dan pelatihan anggota GAM di Kecamatan Samalanga.
"Kami akan secepat mungkin melaksanakan operasi ini. Setelah itu, menunggu perintah lanjutan dari Panglima TNI. Yang jelas, kami tak akan mendirikan pos," ujar Joko.
Dalam perjalanan darat, di Dusun Meunasah Asan yang berjarak 500 meter dari pantai, pasukan harus berhadapan dengan jembatan penyeberangan yang sudah jebol (setengah bagiannya). Diduga, jembatan dirusak anggota GAM dalam rangka menghambat gerak pasukan TNI.
Setelah mencari bonggol- bonggol kayu sebagai penahan, pasukan bergerak maju menuju sasaran operasi.
inu
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment