Monday, February 25, 2008

sumenep i

MELIHAT letaknya yang jauh menjorok di ujung timur Pulau Madura, yang terlintas di pikiran tentu akan jauh dari kehidupan modern seperti di kota-kota besar. Namun, hal ini tidak seluruhnya benar. Di tengah-tengah kesunyian Kota Sumenep, ternyata warganya tidak kalah dalam mengonsumsi barang-barang "orang kota".

SEPERTINYA tidak masuk akal memang, apalagi kalau sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan padi siap panen atau lahan yang dibiarkan begitu saja usai panen berlangsung. Suasana khas pedesaan terasa ketika perjalanan dari barat mulai memasuki gerbang kabupaten berpenduduk sekitar satu juta jiwa ini.

Begitu pula setelah memasuki pusat kota, sepertinya tidak ada tempat hiburan yang menjadi penanda kawasan sebuah kota kabupaten. "Satu-satunya bioskop sudah dibakar massa saat reformasi tahun 1998," ujar Gani, guru Seni Rupa, di Alun-alun Sumenep yang ditemui Kompas.

Karena minimnya tempat hiburan itu, Alun-alun Sumenep menjadi satu-satunya tujuan bagi warga Sumenep untuk melepas kepenatan dan mencari hiburan di luar rumah. Seperti ratusan warga lain, Gani datang ke alun-alun bersama anaknya untuk melepas kepenatan setelah sepekan menjalani rutinitas sebagai guru. "Yang penting keluar rumah saja mencari variasi," ungkapnya.

Banyaknya warga yang beralasan serupa membuat alun-alun yang didesain melingkar dengan air mancur di pusatnya itu padat oleh anak-anak yang terlihat semangat bermain petak umpet. Sementara remaja dan kaum muda yang asyik berpacaran sambil memandang bulan sungguh terkesan klasik.

Bersamaan dengan delapan kali dentang keras jam kuno di Masjid Agung Sumenep yang merupakan salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia, alun-alun yang juga dipadati pedagang makanan, mainan, dan pakaian itu terlihat dan terasa sesak. Semua warga Sumenep yang mencari variasi hiburan seperti tumpah ruah di seputar alun-alun.

KESAN terhadap situasi Sumenep yang tertinggal mulai tersingkir seiring dengan makin larutnya malam. Suasana justru menampakkan warna lain. Ternyata ada keramaian yang langsung meruntuhkan bayangan jauhnya Sumenep dari peradaban, seperti ditawarkan agen-agen konsumerisme.

Sekitar dua ratus remaja pria memadati ruas Jalan Wahid Hasyim yang terletak 500 meter dari alun-alun. Mereka umumnya berkelompok dengan anggota masing-masing, sekitar enam remaja. Di ruas jalan itu, ratusan remaja pria tersebut berkerumun di sekitar Toko Aeng Mas yang buka 24 jam pada setiap akhir pekan.

Toko Aeng Mas adalah toko yang dikelola tiga anak muda, yaitu Willy, Rayan, dan Cipto. "Semula, kami membuka toko ini untuk berjualan segala jenis mainan anak-anak. Namun, dua tahun terakhir, bersamaan dengan tren, kami berubah haluan dan memfokuskan berjualan segala pernak-pernik mainan Tamiya," ujar Willy (24), protholan sebuah politeknik di Yogyakarta.

Perubahan haluan menjadi toko yang khusus menjual segala pernak-pernik Tamiya ini berlangsung begitu saja. Menurut Willy, yang bertemu dengan Rayan dan Cipto dari hobi merakit dan mengikuti sejumlah lomba Tamiya, dengan modal Rp 6 juta, mereka bertiga nekat membuka toko khusus mainan.

"Perubahan haluan toko menjadi hanya menjual pernak-pernik Tamiya terjadi bersamaan dengan maraknya kembali permainan Tamiya yang pernah berjaya pada pertengahan tahun 2002. Kami kemudian membentuk tim WRC untuk memelopori demam Tamiya di Sumenep," ujar Willy.

Tim WRC adalah singkatan dari ketiga pengelola toko Aeng Mas yaitu Willy, Rayan, dan Cipto. Toko yang kemudian buka 24 jam pada tiap akhir pekan ini kemudian perlahan-lahan berkembang melengkapi fasilitasnya bersamaan dengan komunitas penggila Tamiya di Sumenep.

Untuk memfasilitasi tumbuhnya komunitas penggila mainan Tamiya di Sumenep, WRC kemudian membeli sirkuit standar tujuh set untuk ajang uji coba dan lomba. Perlahan-lahan, namun pasti, jumlah penggila mainan yang satu setnya seharga sekitar Rp 750.000 ini terus bertambah.

"Hampir setiap kecamatan ada tim tersendiri yang terdiri dari beberapa orang yang biasa berlomba di sini," ujar OÆong (19), remaja pria asal Kecamatan Dungkek, Sumenep.

Bertambahnya penggemar Tamiya di Sumenep membuat fasilitas yang disediakan WRC dirasa kurang. Atas tuntutan membuat variasi jenis lomba, maka diadakan lomba Drag Tamiya dengan sirkuit lurus buatan sendiri sepanjang 20 meter dengan modal Rp 500.000.

"Kami membuatnya dengan bahan talang air yang biasa dipakai di atap rumah. Tidak standar memang, dan hambatan kecepatannya lebih besar. Namun, karena semua sepakat dan suka, sirkuit buatan sendiri ini justru jadi sirkuit favorit untuk lomba balap Tamiya," ujar Rayan yang membuat sirkuit itu dua bulan lalu.

Begitu favoritnya sirkuit untuk Drag Tamiya tersebut tergambar dari banyaknya peserta yang ikut berlomba di sirkuit yang dipasang di trotoar di depan Toko Aeng Mas. "Tiap malam Minggu, peserta yang ikut lomba mencapai 80-90 orang dari sejumlah tim," jelas Cipto.

Segera mewabahnya kegilaan pada mainan yang sempat populer pertengahan tahun 1990-an itu dipicu juga karena minimnya sarana hiburan untuk remaja di Sumenep. Jangan membayangkan adanya mal atau plaza seperti yang menjamur di Surabaya dan kota/kabupaten lainnya, bioskop pun tidak ada di Sumenep.

"Sebelumnya, remaja dan anak muda di Sumenep memiliki tempat untuk menghibur diri, yaitu di Jalan Panglima Sudirman dan jalan di gerbang kota. Di dua tempat itu anak muda adu cepat dengan motor mereka. Namun, setelah adu cepat di jalan raya itu dilarang dan sering ditangkap polisi, adu cepat di sirkuit dengan Tamiya menjadi pilihan," ujar Denny (21), juara Drag Tamiya sebelumnya.

MALAM makin larut bersamaan dengan hampir lelapnya Sumenep. Namun, di Jalan Wahid Hasyim, puluhan remaja dari sejumlah tim Tamiya yang lolos di babak-babak awal justru makin berkobar-kobar semangatnya. Menjelang bergantinya hari, saat partai semifinal digelar, konsentrasi setiap tim untuk dapat memenangi lomba makin nyata terlihat. Ketegangan antartim Tamiya mulai terasa.

"Hadiahnya tidak seberapa. Namun, jika dapat memenangi lomba, ada kepuasan luar biasa yang kami rasakan," ungkap OÆong dari Tim Romben Motor Sport (RMS) yang akhirnya kalah.

"Kelihatannya sederhana lomba ini. Namun, untuk dapat menang, dengan perlengkapan standar, tim harus mengasah otak dan beradu teknik dengan tim lain," ujar Rayan, mekanik Tim WRC.

Menurut Rayan, rahasia kemenangan dalam lomba Tamiya terletak pada jumlah atau lilitan kabel dan ukuran kabel yang dipakai untuk melilit dinamo. "Tim harus bereksperimen untuk dapat mendapatkan paduan terbaik demi laju Tamiya," jelas Rayan.

Tantangan itu dilihat para remaja sebagai yang lebih menantang dibanding adu cepat dengan motor di jalan raya dengan taruhan nyawa pengendara dan juga penonton. "Karena tantangan macam itu, adu cepat di jalan raya yang lebih berisiko mulai ditinggalkan," ujar OÆong sambil mengemasi pernak-pernik Tamiya yang tercecer untuk segera pulang.

Meskipun tidak berhasil menang dalam perlombaan Drug Tamiya, OÆong dan lima anggota timnya cukup merasa puas karena banyak belajar teknik-teknik baru merakit Tamiya. Dengan bekal tambahan teknik baru itu, pekan depan ia berniat bertarung lagi dan bertekad meraih juara. Weeeeng... weeeeng...

inu

No comments: