TERLALU sederhana. Begitu mungkin ungkapan kita setelah mendengar alasan sejumlah mahasiswa yang dalam dua pekan terakhir tidak perna h berhenti turun ke jalan meneriakkan penolakan mereka atas kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), harga bahan bakar minyak (BBM), dan tarif telepon.
"Fotokopi dan nasi pecel harganya naik. Karena itu kami turun ke jalan," ujar mahasiswa Universitas Dr Soetomo, Surabaya, serentak ketika menyampaikan alasan mereka melakukan unjuk rasa dengan turun ke jalan dan menemui wakil-wakil mereka di Gedung DPRD Jawa Timur (Jatim), pekan lalu.
Persoalan ekonomi yang berdampak dalam meningkatnya beban, yang mau tidak mau harus dipikul lantaran kenaikan TDL, harga BBM, dan tarif telepon secara serentak sebagai kado pembuka tahun 2003 menjadi alasan hampir semua kelompok masyarakat yang berunjuk rasa. "Harga barangbarang kebutuhan lantas naik tak terkendali dan membuat beban hidup bertambah berat," ungkap Wiwit (32), yang turut berunjuk rasa bersama suaminya, seorang buruh di Kabupaten Sidoarjo.
Akan tetapi, apakah sematamata lantaran meningkatnya beban hidup yang menjadi pemicu gelombang unjuk rasa di Surabaya dan hampir seluruh kabupaten/kota di Jatim? Pertanyaan ini mencuat lantaran tidak semua mahasiswa yang turun ke jalan melakukan aksi bersatu.
Lebih lagi, sejumlah mahasiswa lain yang tidak turut berujuk rasa mengaku tidak merasa terusik dan tidak secara langsung terkena dampak kenaikan TDL, harga BBM, dan tarif telepon.
"Harga barang-barang kebutuhan untuk kuliah dan biaya hidup seperti makan dan untuk kos belum mengalami kenaikan," ungkap Dewi, mahasiswa Universitas Widya Mandala, Surabaya.
JIKA demikian halnya, lantas apa yang menjadi motor penggerak gelombang unjuk rasa dalam dua pekan terakhir yang juga terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia itu? Singkatnya, motivasi apa di balik gelombang unjuk rasa yang mirip-mirip dengan aksi yang berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru itu?
Di tengah kesulitan sejumlah orang memahami munculnya energi yang sedemikan kuat dalam rentang waktu yang cukup lama, muncul berbagai analisa. Ada yang mengatakan, unjuk rasa tidak murni dan sarat muatan politiknya. Ada pula yang bilang, unjuk rasa sengaja digelindingkan untuk kemudian dimanfaatkan oleh petualang politik sebagai tunggangan meraih kekuasaan. Mahasiswa akan dikorbankan agar tercipta gelombang unjuk rasa yang lebih dahsyat.
Atas semua analisa yang mengarah pada tuduhan ini, aktivis mahasiswa yang ditemui di jalan-jalan di Kota Surabaya saat melakukan unjuk rasa, dengan tegas, keras, dan emosi menolaknya. Para mahasiswa mengaku, motivasi mereka masih murni, dan berbagai analisa miring itu merupakan cara-cara lama untuk memecah belah gerakan mahasiswa yang kini mulai solid.
"Tidak benar! Kalaupun kami dikorbankan dan menjadi martir, kami akan menjadi martir untuk rakyat! Bukan untuk kepentingan politik dan kelompok tertentu," kata Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya Nugroho Fredivianus sebelum bentrok dengan aparat dalam unjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Jumat pekan lalu.
SEPERTI membenarkan dugaan para mahasiswa, menurut analisa Badan Intelejen Negara (BIN) yang dipaparkan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kemungkinan dijadikannya mahasiswa sebagai martir, ratusan selebaran berisi analisa aliran dana aksi unjuk rasa tahun 2003 muncul tiba-tiba di tengah-tengah aksi.
Mendapat kiriman ratusan selebaran yang sangat mendiskreditkan gerakan mahasiswa itu, ratusan selebaran yang dipisah dalam tiga tumpukan itu lantas dibakar sebelum sempat disebarkan.
"Ini fitnah keji dan kami tidak akan terpecah belah dan padam semangat untuk menolak kebijakan pemerintah. Selebaran itu justru membuat gerakan yang selama ini cair menjadi solid," ujar Koordinator Aksi Front Perjuangan Rakyat Miskin (FPRM) Tino Rahardian.
Dalam selebaran yang dibawa anak-anak ke tengah aksi unjuk rasa itu disebutkan, Tino dan Nugroho adalah dua orang yang mendapat dana untuk aksi dari dua penyandang dana, yaitu (lagi-lagi) Keluarga Cendana, dalam hal ini Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) dan Tommy (Hutomo Mandala Putra), serta Dana Moneter Internasional (IMF).
Menurut selebaran itu, Tino mendapat kucuran dana melalui "barisan sakit hati" Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Setiawan Djodi. Sementara Nugroho mendapat kucuran dana melalui Partai Golkar dan Fuad Bawazier. Dana dikucurkan untuk melahirkan aksi bersama, yang menurut selebaran itu, berujung pada pelengseran Presiden Megawati Soekarnoputri-Wakil Presiden Hamzah Haz.
Sama seperti tanggapan Tino, Nugroho menilai apa yang dituangkan dalam selebaran murahan itu merupakan fitnah yang keji, yang sama sekali tidak memiliki dasar. Selebaran disebarkan di tengah-tengah aksi untuk memecah gerakan yang mulai solid.
"Mahasiswa tidak sebodoh itu! Kami menjamin dan yakin perjuangan yang kami lakukan untuk menuntut dibatalkannya kenaikan TDL, harga BBM, dan tarif listrik masih murni. Semua demi meringankan beban rakyat yang kian berat karenanya," kata Nugroho, yang mengaku telah berkoordinasi akan melakukan aksi berikutnya dalam pekan ini untuk membuktikan kekonyolan analisa dalam selebaran itu.
inu
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment