Monday, February 25, 2008

trafficking

"TIDAK usah kalau hanya diberi waktu satu menit. Penjelasan yang lain sudah cukup. Tidak perlu saya tambahi," ujar Makdum Tahir saat diminta untuk berbicara. Konsul Republik Indonesia (RI) di Tawau, Sabah, Malaysia Timur, ini kemudian bergegas pergi bersamaan dengan berakhirnya konferensi pers penghapusan trafficking (perdagangan) manusia, khususnya perempuan dan anak-anak di Surabaya, Jumat (14/2).

MASIH dengan mata memerah berkaca-kaca dan gugup, Makdum yang khusus datang dari Tawau, Sabah, Malaysia Timur, ke Surabaya untuk berkampanye tentang perang terhadap trafficking lantas dihampiri sejumlah wartawan sesaat setelah beranjak dari tempat duduknya. Makdum yang semula enggan memberi komentar, kemudian bersedia menjawab sejumlah pertanyaan wartawan dengan terbata-bata.

"Tidak mudah upaya yang kita lakukan untuk memulangkan ratusan bahkan ribuan remaja perempuan yang menjadi korban trafficking di Malaysia. Kebijakan pemerintah kita tidak direspons positif oleh Pemerintah Malaysia. Kita seperti bekerja sendiri," kata Makdum tetap dengan mata memerah dan seperti kehabisan napas saat ditanya wartawan kenapa enggan berbicara dalam konferensi pers tersebut.

Usai menjawab pertanyaan itu, Makdum bersama seorang stafnya lantas meninggalkan kerumunan wartawan untuk bergegas pergi keluar ruangan. Wartawan terpaku dan bertanya-tanya menatap letupan emosi Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Tawau, Sabah, Malaysia Timur, ini.

LETUPAN emosi Makdum yang bersentuhan langsung dengan proses pengusutan jaringan perdagangan perempuan dan anak-anak di wilayah Malaysia Timur dan pemulangannya kembali ke Indonesia merupakan cerminan perasaannya. "Mengerikan perlakuan papa atau mama ayam (germo-Red) terhadap perempuan di bawah umur yang diperdagangkan di sejumlah wilayah di Malaysia. Saat ini, perkiraan kami ada sekitar 6.000 perempuan yang menjadi pekerja seks di bawah kendali sejumlah papa atau mama 'ayam'," ungkap Makdum.

Perlakuaan mengerikan yang dilihat dengan mata dan kepalanya sendiri adalah "penyekapan" yang dilakukan para papa dan mama "ayam". Setelah dipaksa melacurkan diri di bawah kendalinya, pekerja seks komersial (PSK) korban trafficking biasanya "disimpan" dalam sebuah ruangan sangat tidak layak. "Mereka yang menjadi korban trafficking di Malaysia hampir tidak pernah bisa melihat matahari lantaran dilarang papa dan mama ayam-nya," ujar Makdum.

Kondisi PSK korban trafficking yang lebih mengenaskan juga diungkapkan Deputi Kualitas Hidup Perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan Ratna Tjahja. "Di banyak lokasi penyekapan, saat aparat melakukan pemeriksaan dan penggeledahan, papa atau mama ayam memaksa mereka berendam di rawa-rawa untuk bersembunyi sampai aparat pergi," ujarnya.

Selain Makdum dan Ratna, hadir dalam konferensi pers menyikapi dideportasinya 16 PSK korban trafficking dari Tawau tersebut adalah Deputi Pemberdayaan Perempuan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Sri Murtiningsih Adi Utomo, Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jatim Djaelani, dan Kepala Kepolisian Resor (Polres) Nunukan Ajun Komisaris Besar Poedji Santoso.

Mendapati kondisi sangat memprihatinkan yang dialami ratusan bahkan ribuan PSK korban trafficking di sejumlah wilayah Malaysia tersebut, pemerintah melakukan kampanye dan menyatakan perang terhadap trafficking! Rencana Aksi Nasional (RAN) dan gugus tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A) tahun 2003-2008 yang dikuatkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88 Tahun 2002 telah di susun.

"Kondisi trafficking saat ini sudah sangat serius dan yang selalu menjadi korban adalah perempuan. Perempuan telah diinjak-injak hak asasinya, baik sebagai manusia maupun sebagai perempuan. Saatnya berkomitmen untuk melakukan perang terhadap perdagangan perempuan," tegas Sri Murtiningsih Adi Utomo.

TRAFFICKING (perdagangan) manusia adalah kegiatan ilegal yang melanggar hak asasi manusia (HAM) seperti hak untuk hidup bebas dan merasa aman, bebas dari penyiksaan, kekejaman, dan perlakuan yang tidak manusiawi, atau penghukuman.

Para korban trafficking umumnya dijadikan pekerja seks komersial (PSK), pekerja/buruh murah, pembantu rumah tangga (PRT), pengemis yang diorganisir, pengedar narkoba, pekerja di tempat hiburan, konsumsi pengidap pedofilia, pengantin pesanan (mail order bride), dan donor paksa organ tubuh.

Proses trafficking umumnya terdiri dari rekrutmen, transportasi, transfer (alih tangan), penampungan, dan penerimaan. Modus operandi rekrutmen biasanya dengan bujuk rayu, janji pekerjaan dengan gaji besar, berbagai kesenangan dan kemewahan yang banyak menarik kelompok sasaran anak baru gede (ABG), janda muda, dan perempuan desa yang ingin mengubah nasib.

Indonesia merupakan ladang subur atau sumber, tempat transit, dan tujuan trafficking. Untuk keperluan dalam negeri, korban banyak berasal dari Belawan, Binjai, Palembang, Pariaman, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Samarinda, Singkawang, Pontianak, Makassar, Kendari, dan Manado. Umumnya mereka dikirim ke Belawan, Sibolangit, Bandar Baru, Deli Serdang, Batam, Tanjung Balai, Karimun, Dumai, Tanjung Batu, Palembang, DKI Jakarta, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Sebagai tempat transit adalah Pontianak, Makassar, Batam, Tanjung Pinang, Bandar Lampung, Medan, dan DKI Jakarta.

Sementara korban trafficking untuk keperluan luar negeri kebanyakan berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Mereka dikirim ke Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, Australia, Timur Tengah, Inggris, dan Eropa. Tempat transit mereka adalah Jakarta, Batam, Medan, Surabaya, dan Pontianak.

"Sangat sulit untuk mengetahui data konkret berapa banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban trafficking. Untuk dapat mengetahui, peneliti harus menjadi konsumen terlebih dahulu baru bisa melihat," ujar Ratna Tjahja.

Melalui pengamatan, di Tawau saja, saat ini sedikitnya ada 170 korban trafficking yang dipaksa oleh papa atau mama ayamnya menjadi PSK. Namun, seperti fenomena gunung es, jumlah korban trafficking di suatu wilayah yang tidak terpantau dan terungkap lebih besar. "Di seluruh wilayah Malaysia, perempuan kita yang diperdagangkan jumlahnya tidak kurang dari 6.000 orang," ungkap Makdum.

Menurut perkiraan Global March Against Child Labour (2002), di Indonesia, jumlah perempuan dan anak korban trafficking mencapai 700.000 sampai satu juta orang per tahun!

MELIHAT kasus dideportasinya 47 perempuan korban trafficking dari Malaysia dalam satu tahun terakhir pasca diterapkannya undang-undang keimigrasian Malaysia, 39 diantaranya berasal dari sejumlah kota/kabupaten di Jawa Timur. Sementara delapan lainnya berasal dari Jawa Tengah dan Kalimantan.

Artinya, dari apa yang terungkap tersebut, Jawa Timur telah menjadi ladang subur bagi praktik trafficking. Dan, meskipun mulai terpatahkan, alasan klasik kemiskinan dan rendahnya pendidikan serta sempitnya wawasan, menjadi salah satu faktor pemicu praktik trafficking tumbuh subur di Jawa Timur.

Setelah puluhan korban trafficking didata, korelasi mereka dengan latar belakang kemiskinan memang masih dominan. Puluhan korban trafficking tersebut berasal dari kota/kabupaten di Jawa Timur yang masuk dalam kategori merah (kantung-kantung) kemiskinan seperti Ponorogo, Tuban, Probolinggo, Bojonegoro, dan Ngawi.

"Namun, jangan hanya beranggapan latar belakang kemiskinan saja yang menjadi faktor pemicu trafficking. Bahkan, perempuan yang berpendidikan dan telah memiliki pekerjaan, berpotensi menjadi korban trafficking. Iming-iming mendapatkan kemewahan dan kemudahan hidup juga menjadi daya tarik bagi seseorang untuk akhirnya diperdagangkan," ungkap Ratna Tjahja.

Mencengangkan dan tangis Konsul RI di Tawau, Sabah, Malaysia Timur, Makdum Tahir usai konferensi pers penghapusan trafficking perempuan dan anak-anak di Surabaya beralasan. Tangisnya mungkin lebih menjadi-jadi lantaran melihat bagaimana minimnya dukungan aparat kepolisian Malaysia yang setengah hati membantu kebijakan Pemerintah Indonesia melakukan perang terhadap trafficking.

"Tidak sampai 30 persen peran serta mereka dalam upaya keras kami membongkar jaringan perdagangan perempuan dan melakukan penangkapan terhadap para tersangka," ujar Makdum pilu.

Kepiluannya makin menjadi setelah mendapati bagaimana aparat kepolisian kita tidak tegas dalam penegakan hukum. Banyak tersangka yang dengan susah payah dideportasi ke Indonesia, tidak dihukum berat sesuai dengan perbuatannya. Banyak dari para tersangka lolos setelah menjalani hukuman hanya beberapa bulan.

Keprihatinan ini menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum kita: kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Perang terhadap trafficking tidak akan berhasil tanpa komitmen mereka menimbulkan efek jera kepada para tersangka.

Untuk memantapkan hati aparat penegak hukum, pemerintah bersama unsur masyarakat sedang menyusun naskah akademis sebagai bahan masukan untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Anti Perdagangan Perempuan dan Anak. Mari berperang bersama-sama!

inu

No comments: