MESKIPUN berada di tengah pusat Kota Surabaya, kawasan tempat berdiri kokohnya "Studio East Discothique" itu tampak terpencil. Suasana sepi Jalan Simpang Dukuh, Surabaya, lantaran tidak dilewati armada angkutan umum menambah kesunyian dan kesenyapan kawasan itu ketika malam datang menyergap.
Namun, Kamis (6/3) malam, kesunyian kawasan itu seakan menyingkir. Usai pusat-pusat perbelanjaan di sekitar kawasan itu tutup, keramaian pindah ke kawasan, yang pada malam hari-hari biasa sepi, itu. Berangsur-angsur, sosok manusia yang secara fisik adalah laki-laki namun bergaya dan berdandan layaknya perempuan berkumpul dan berbaris di muka lift.
Barisan panjang di muka lift gedung berlantai empat itu terus bertambah bersamaan dengan pekatnya malam. Kontan, dalam waktu satu jam sejak pukul 22.00, Studio East Discothique padat oleh sekitar 700 manusia yang datang berpasangan atau berombongan. "Kami datang dari Malang khusus untuk memeriahkan acara ini," ujar Beti (34) dengan tangan melambai dan kepala agak digeleng-gelengkan.
Dan, benar apa yang dikatakan Beti. Ratusan sosok manusia yang secara sosial disebut sebagai gay dan waria (wanita-pria) tersebut sengaja datang untuk sebuah acara "Operet Anak Metropolis" dalam rangka "Malam Peduli AIDS" yang diselenggarakan oleh GAYa Nusantara (GN).
"Kami hanya ingin mewadahi saja fenomena kehidupan macam ini. Mereka cukup banyak dalam kehidupan kita dan karena itu membutuhkan penerimaan masyarakat di sekitarnya," ujar Luita (32), aktivis GN, yang menjadi salah satu panitia penyelenggara acara tiga bulanan malam itu.
Aktivitas Luita yang adalah dosen Linguistik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya di GN merupakan salah satu cara untuk menaruh kepedulian terhadap para gay dan waria. "Saya bergabung dan aktif di GN sejak 1995 bersama Mas Dede Utomo, sesepuh dan pendiri GN," ujar Luita yang menegaskan bahwa dirinya adalah laki-laki "normal", bukan gay atau waria.
SETELAH Studio East Dischotique penuh sesak dengan ratusan manusia dari "jender ketiga" (jender pertama laki-laki, jender kedua perempuan), acara malam itu pun dimulai. Ratusan manusia dari jender ketiga yang semula duduk dan berdiri berkerumun di dalam diskotek lantas merapat ke belakang memberi ruang bagi pementasan yang disiapkan GN.
Narator dengan suara melambai memberi woro-woro dan ucapan selamat datang kepada seluruh warga jender ketiga yang hadir baik dari Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, Madura, maupun wilayah lain. Tepuk tangan meriah mengakhiri woro-woro itu menjadi pembuka operet yang telah dipersiapkan selama dua minggu oleh belasan pemain.
Jika sering menyaksikan acara variety show di layar kaca, apa yang ditampilkan dalam malam peduli AIDS itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Cerita yang diangkat pun tidak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan ratusan sinetron di televisi kita: keluarga kaya raya yang menelantarkan anaknya hingga salah bergaul dan binasa.
Yang menarik dan mencengangkan mata adalah bagaimana ratusan warga jender ketiga itu merespons setiap adegan yang ditampilkan di atas panggung yang menang kocak dan menghibur. Mereka yang selama ini "konservatif" akan tercengang-cengang melihat sepasang manusia berjenis kelamin sama saling berdiri berdekatan, berpegangan, dan berpelukan.
Tidak hanya itu, untuk mereka yang sudah lebih berani, selama pertunjukan sejumlah pasangan warga jender ketiga ini bermesraan dengan saling berciuman! Karena mereka berada di tengah komunitas yang menerima mereka, sejumlah pasangan itu tenang- tenang saja melakukan itu semua meskipun dipelototi juga oleh ratusan pasang mata sesama mereka.
Usai Operet Anak Metropolis yang mendapat sambutan luar biasa karena ceritanya bersinggungan erat dengan kehidupan yang mereka jalani, acara sesungguhnya digelar. Dalam temaram lampu diskotek warna-warni dan dentuman musik yang seakan tiada henti, bergoyanglah seluruh warga jender ketiga itu.
Bersamaan pasangan yang mereka bawa atau pasangan yang didapat di tempat itu, warga jender ketiga ini asyik masyuk dalam balutan irama musik yang seakan mengajak badan bergoyang. Di tengah-tengah keasyikan ini, aktivis dari GN berkeliling membawa lusinan kondom untuk dibagi-bagikan secara gratis. "Save sex!" ujar mereka.
KETIKA beberapa dari warga jender ketiga ini ditanya mengenai kesadaran mengenai "kelainan" yang hinggap dalam raga dan jiwa mereka itu, mereka mengaku tertekan. "Terlebih karena masyarakat tidak dapat memahami kami yang bawaannya memang seperti ini," ujar Didik (35), pemilik sebuah salon di Surabaya.
Didik, yang kadang berubah nama menjadi Citra, datang ke acara yang diselenggarakan GN itu bersama Yahya (29), suaminya (atau meong istilah mereka). Karena penolakan masyarakat, Didik harus mengungsi ke rumah orangtua Yahya. "Meski kami memaknai hubungan yang kami jalani layaknya hubungan suami istri, di depan orangtua Yahya saya mengaku sebagai temannya," jelas Didik yang merasa memiliki "kelainan" sejak usia sekolah dasar (SD).
Mengenai penolakan masyarakat diungkapkan juga oleh Luita yang aktif sebagai pengurus di GN. "Penolakan masyarakat atas kenyataan ini adalah cermin bahwa kita belum masyarakat kita demokratis. Jika sudah demokratis, setiap perbedaan seekstrem apa pun akan dapat diterima dan dibiarkan hidup," ujarnya berteori.
Meskipun ada penolakan, warga jender ketiga tetap akan eksis dalam kantung-kantung komunitasnya. Keyakinan ini dikemukakan Ketua GAYa Nusantara Budi. Untuk menumbuhkan keakraban di antara para warga jender ketiga, setiap Kamis malam di Studio East Discothique di gelar acara East Gay Drive Me Crazy. "Sementara acara resmi kami gelar di sini karena hanya tempat ini yang welcome untuk kami," ujar Budi dengan gaya melambai tentu saja.
Hitung punya hitung, dari kehadiran sekitar 700 warga jender ketiga dalam acara tanpa undangan itu, Luita memperkirakan jumlah riil warga ketiga di Surabaya dan beberapa wilayah Jatim mencapai sekitar 7.000-8.000 orang. "Apa yang tampak malam ini adalah puncak dari sebuah gunung es. Di bawah puncak yang tidak terungkap, jumlahnya dapat berlipat-lipat," ujarnya.
Mendapat tekanan sosial berupa penolakan, cemoohan, dan pengucilan masyarakat kebanyakan yang menentukan sesuatu itu normal dan sesuatu yang lain tidak normal, sejumlah warga jender ketiga hanya berujar dengan tangan tetap melambai tentu saja, "Terhadap apa yang kami alami, salahkah bila kami jujur bertutur...."
inu
Monday, February 25, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment