Monday, February 25, 2008

medaeng

BISA jadi ketiga tersangka kasus korupsi senilai Rp 2,7 milyar di DPRD Surabaya yang terjadi tahun 2001 tidak menyangka kalau enamlembar kuitansi sanggup mengantarkan mereka ke sel tahanan. Enam kuitansi permohonan dan persetujuan pencairan dana berbagai keperluanyang mereka tanda tangani pertengahan tahun 2001 itu ternyata menjadi "tiket" masuk Rumah Tahanan Negara (Rutan) Medaeng, Sidoarjo.

Ketiga tersangka yang saat ini mendekam dalam satu sel yang sama, di Blok D1 Rutan Medaeng, hanya dapat melongok ke masa lalu dengan penuh penyesalan. "Kalau tanda tangan permohonan pencairan dana itu yang dipersoalkan dan menjerat saya di sini, tidak ada yang mau jadi Ketua DPRD Surabaya," ungkap Ketua DPRD Surabaya Mochamad Basuki ketika wawancara di tahanan.

Gugatan dengan nada penyesalan atas apa yang telah terjadi itu juga diungkapkan Wakil Ketua DPRD Surabaya Ali Burhan yang ditahan diRutan Medaeng bersama dengan Basuki. Bagai berusaha untuk melempar tanggung jawab, Ali Burhan yang juga Wakil Ketua Dewan PimpinanCabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berujar, "Saya membubuhkan tanda tangan pencairan dana itu karena Pak Basuki sebagai Ketua DPRD Surabaya melimpahkan kewenangannya kepada saya. Jika Pak Basuki tidak pergi ke Jakarta untuk kursus di Lemhannas (Lembaga Pertahanan Nasional), saya tidak akan mendekam di rutan ini."

Berbeda dengan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Surabaya yang ambil inisiatif meminta dicairkannya dana di luar Rp 2,7 milyar di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Surabaya 2001, peran mantan Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya M Jasin terletak pada persetujuan yang diberikannya atas permohonan pencairan dana yang diajukan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Surabaya itu.

Mengenai peran yang membuat dia kini mendekam di ruang sempit di Rutan Medaeng bersama Basuki dan Ali Burhan, Jasin tidak bersedia berkomentar. Meskipun tetap ramah dan komunikatif, terkaitmasalah hukum, Jasin tertib untuk bungkam dengan alasan, "Semua sudah saya serahkan ke kuasa hukum saya."

Kuasa Hukum Jasin, Wijono Subagyo, ketika dikonfirmasi perihal keterlibatan kliennya berujar, "Disposisi pencairan dana seperti diminta DPRD Surabaya diberikan karena khawatir. Jika tidak diberi,Pak Jasin yang tiba-tiba jadi orang nomor satu di Surabaya khawatir DPRD Surabaya akan macam-macam di kelak kemudian hari," ujarnya.

MASING-masing tersangka berhak membela diri untuk dapat lepas dari jeratan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Namun, bukti formal berupa tanda tangan, bukti uang yang diduga hasil korupsi yang disita, keterangan saksi, dan keterangan tersangka yangdi-cross check, berbicara lain.

Berbekal hal-hal tersebut di atas, Kejaksaan Negeri (Kejari)Surabaya secara tegas mengambil keputusan menahan ketiga tersangka. "Ada dugaan konspirasi di antara ketiga tersangka sehingga dana yang diajukan DPRD Surabaya itu cair dan akhirnya dinikmati bersama di antara mereka sendiri," ujar Kepala Kejari Surabaya Luhut Pakpahan. Berdasarkan penyidikan aparat Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya, konspirasi pencairan dana itu terekam dalam bukti material enam kuitansi pencairan dana Rp 2,7 milyar yang kinidisita sebagai barang bukti.

Enam kuitansi itu diajukan untuk bantuan keselamatan kerja dan tunjangan hari tua Rp 1,2 milyar (diajukan Basuki), tiga kuitansi koordinasi pengendalian kinerja Rp 572 juta (diajukan Basuki), kuitansi penunjang kegiatan kemasyarakatan Rp 115 juta (diajukanBasuki), dan kuitansi bantuan operasional proyek Rp 350 juta (diajukan Ali Burhan karena Basuki tidak ada). (Kompas, 7 November 2002)

Meskipun jika dijumlah totalnya hanya Rp 2,23 milyar, Basuki mengakui mendapatkan persetujuan pencairan dana dari eksekutif Rp 2,7 milyar. Ke mana sisa dana Rp 463 juta yang dicairkan? Tidak jelashingga sekarang. Yang jelas dan ada bukti otentiknya, Rp 1,2 milyar dana untuk keselamatan kerja dan tunjangan hari tua telah dibagi rata kepada 45 anggota DPRD Surabaya, masing-masing Rp 25 juta. Sisanya, Rp 75 jutadibagi ke eksekutif, yaitu Wali Kota, Wakil Wali Kota, dan Sekkota Surabaya.

Untuk dana yang dibagi rata ke seluruh anggota DPRD Surabaya, ada bukti otentik berupa daftar tanda tangan seluruh anggota DPRD Surabaya yang mengambil uang jatah itu. Sementara dana yang dibagi keeksekutif, penelusuran penyidik mentok pada Jasin yang mengaku hanya menerima Rp 25 juta, padahal kuitansi penerimaannya menyebut Rp 75juta.

Sedangkan sisanya, Rp 50 juta, staf ahli Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ini mengaku tak tahu apakah dana itu sudah diterima Wali Kota Surabaya Sunarto Sumoprawiro (almarhum) dan Wakil WaliKota Surabaya Bambang DH (sekarang Wali Kota Surabaya). Sementara Kepala Bagian Keuangan Pemkot Surabaya Purwito memastikan kepadapenyidik bahwa dana itu telah diserahkan seluruhnya ke Jasin.

Simpang siur aliran dana ini dirasa kurang begitu perlu untuk saat ini. Karena itu, penyidik "mengabaikan" ketidakjelasan ini untuk sementara waktu. Penyidik memilih berkonsentrasi mengusut kasusdugaan korupsi yang melibatkan orang nomor satu di DPRD Surabaya dan dua orang yang tiba-tiba menjadi orang nomor satu di DPRD Surabayadan di Pemkot Surabaya.

Tiba-tiba menjadi orang nomor satu di lembaga masing-masing. Itulah yang diakui Wakil Ketua DPRD Surabaya Ali Burhan dan SekkotaSurabaya M Jasin. Ketiba-tibaan itu menyergap mereka karena atasannya masing-masing sedang kursus Lemhannas di Jakarta. "Ada kesan, PakJasin memberi disposisi berupa persetujuan tanda tangan karena tekanan psikologis dari DPRD Surabaya yang tiba-tiba menjadi sangat kuat dan dominan dalam pemerintahan daerah," ujar Wijono.

BAGAIMANAPUN, usaha masing-masing tersangka dan kuasa hukumnya berkelit, kasus dugaan korupsi yang menurut audit Badan PengawasanPembangunan dan Keuangan (BPKP) Jawa Timur (Jatim) merugikan negara sebesar Rp 22,5 milyar sudah telanjur menjadi urusan publik.

Masyarakat yang dirugikan oleh aparat yang sejatinya bertugasmewujudkan kesejahteraan umum ini juga sudah terlibat. Bahkan, sangat intens terlihat dari kegeraman dan tanggapan mereka ke sejumlahmedia massa. Karena itu, semua pihak, terutama aparat penegak hukum, harus terbuka mengenai setiap langkah yang diambilnya.

Masyarakat selama ini sudah telanjur geram dengan para wakil rakyat di lembaga legis-latif, termasuk di Surabaya. Menurut terjemahan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Ali Maschan Moesa,rakyat sudah telanjur tidak percaya (distrust) kepada aparat anggota legislatif yang mengklaim mewakili rakyat.

Kemampuan penyidik dan pihak kejaksaan membuktikan dugaan kebobrokan di DPRD Surabaya serasa memberi dasar alasan yang sahih bagi ketidakpercayaan rakyat kepada anggota legislatif.

Karena itu, untuk mempertegas dan memantapkan kualitas pribadi elite pemimpin lokal (Surabaya) dan juga nasional yang ternyata bobrok, kerja penyidik, kejaksaan, dan juga pengadilan belumlah selesai. Pengadilan yang bersih untuk mencari kebenaran adanyadugaan kuat korupsi di DPRD Surabaya menanti untuk digelar.

Jangan sampai momentum yang baik ini ternodai oleh sejumlahkepentingan. Kita tidak ingin ketidakpercayaan rakyat kepada aparat penyelenggara negara berubah menjadi perasaan tidak hormat (disrespect) yang akan memunculkan pembangkangan (disobedience).

Mencegah perkembangan menuju pembangkangan (diso-bedience) itu adalah tugas aparat penegak hukum, termasuk di dalamnya penyidik, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan rakyat yang sudah terkhianatidan terlukai oleh ulah aparat penyelenggara negara kini ada pada pundak aparat penegak hukum.

Masyarakat berharap, enam kuitansi permohonan dan persetujuanpencairan dana yang terindikasi sangat kuat bernuansa korupsi dapat juga menjadi tiket terusan untuk mengantar para tersangka ke sidangdi pengadilan, diungkap kebenarannya di sana, divonis, dan kemudian diharuskan menjalankan vonis yang ditetapkan majelis hakim. Apa pun vonis yang dijatuhkan!

inu

No comments: